Reporter: Martina Prianti | Editor: Test Test
JAKARTA. Akhirnya pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengesahkan Rancangan Undang-Undang Pajak Penghasilan (RUU PPh) menjadi Undang-Undang (UU), Selasa (2/9). Pengesahan ini terjadi setelah pembahasan berlangsung selama satu setengah tahun.
Buat pemerintah, pengesahan UU PPh ini berpotensi menambah pendapatan negara. "UU ini mendorong lahirnya alternatif pembiayaan bagi pemerintah," kata Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, Selasa (2/8).
Setelah pengesahan, Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak akan merencang sejumlah Peraturan Pemerintah (PP) untuk melengkapinya. Antara lain PP yang mengatur soal kewajiban menyertakan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) bagi masyarakat yang membeli barang mewah seperti berlian, kapal pesiar, dan pesawat. "Di dalam RUU PPh memang ada perlakuan khusus, termasuk soal membeli barang mewah," kata Direktur Jenderal Pajak Darmin Nasution.
Sebenarnya, kewajiban memiliki NPWP bukan hanya untuk masyarakat yang berniat membeli barang mewah. UU PPh ini juga menyebutkan pemerintah bakal memberikan insentif bagi waib pajak yang mengantongi NPWP. Insentif itu berupa pembebasan pembayaran fiskal ke luar negeri mulai tahun 2009.
Di luar soal itu, pengesahan RUU PPh ini membawa konsekuensi bagi setiap wajib pajak. Pasalnya, mulai tahun 2009, segudang kebijakan baru tentang pajak penghasilan bakal berlaku.
Contohnya tarif PPh badan atau perusahaan. Sebelumnya, tarifnya bersifat progresif dengan tarif sebesar 30% dari laba kotor, sekarang bersifat flat alias tunggal dengan tarif sebesar 28% pada tahun 2009, dan 25% pada tahun 2010. Nah, bagi perusahaan yang melantai di bursa minimal 40% saham, pemerintah akan memberi diskon tarif PPhnya sebesar 5%.
Nah, untuk perusahaan kelas Usaha Mikro Kecil dan Menengah, tarif PPh-nya 50% lebih kecil dari tarif PPh perusahaan besar. Alhasil tarif PPh untuk UMKM sekitar 14% tahun 2009, dan 12,5% tahun 2010. Sedangkan tarif PPh untuk pribadi bersifat progresif tergantung besar kecilnya penghasilan, mulai dari Rp 15,8 juta hingga di atas Rp 500 juta per tahun, dengan tarifnya mulai 5% hingga 30%. Batasan terendah tersebut lebih tinggi dari yang berlaku saat ini yang sebesar Rp 13,2 juta per tahun atau Rp 1,1 per bulan. "Ini mengikuti tren kenaikan inflasi," kata Direktur Jenderal Pajak Darmin Nasution.
Salah satu potensi yang tidak akan disia-siakan oleh pemerintah ialah penerimaan PPh dari keuntungan atau surplus Bank Indonesia. Tak pelak, dalam waktu dekat, Ditjen Pajak akan merancang PP untuk mengatur kewajiban PPh bagi BI bila mengalami surplus. "Karena UU ini baru efektif tahun depan, jadi kita masih akan lihat dulu mulai kapan BI harus membayar pajak bila mengalami surplus. Ini akan diatur dalam PP," terang Darmin.
Sekedar mengingatkan, RUU PPh menyebutkan, BI masuk dalam daftar obyek PPh yakni sebagai wajib pajak badan dengan tarif yang sama dengan perusahaan lain. BI wajib membayar PPh kepada pemerintah bila neraca keuangan BI menunjukkan surplus.
Menurut Ketua Panitia Khusus Perpajakan Melchias Markus Mekeng, pajak atas surplus BI memang berlaku 2009, namun itu tidak berlaku surut. Artinya, tahun depan Ditjen Pajak tidak bisa menarik pajak jika BI, pasalnya surplus itu merupakan hasil kegiatan moneter BI tahun 2008. "Penarikan pajaknya baru berlaku tahun 2010, karena surplus itu memang hasil kegiatan tahun 2009," kata Melchias.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News