Reporter: Ghina Ghaliya Quddus | Editor: Hendra Gunawan
JAKARTA. Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak Kementerian Keuangan akan lebih gencar menyisir potensi pajak yang selama ini belum optimal. Salah satu sektor yang memiliki potensi besar adalah ekonomi digital.
Namun sayangnya saat ini Indonesia belum memiliki instrumen khusus untuk memajaki bisnis digital tersebut. Karena itu, skema pajak diverted profit tax yang diterapkan Inggris dan Australia bakal diadopsi oleh pemerintah guna menjadi instrumen khusus untuk memajaki bisnis digital over the top (OTT).
Kepala Subdit Manajemen Transformasi DJP Kemenkeu Heru Marhanto Utomo mengatakan, rencana ini akan dimasukkan ke dalam pembahasan revisi undang-undang (RUU) Pajak Penghasilan (PPh). Saat ini Ditjen Pajak tengah dalam tahap awal kajian untuk nantinya lebih detail soal pemajakan terhadap perusahaan OTT asing.
Pasalnya, draf RUU PPh yang sudah diberikan kepada DPR menurut Heru belum terlalu secara detail membahas soal pemajakan bisnis digital dan memuat soal diverted profit tax tersebut.
“Waktu Draf RUU PPh yang dikirim ke DPR dikonsepkan, digital economy belum se-disruptive sekarang. Jadi belum terlalu lari pembahasannya. Kemungkinan diakomodir pada saat pembahasan di DPR,” ujarnya usai berbicara dalam sebuah diskusi di Jakarta, Kamis (15/6) kemarin.
Sambil menunggu UU direvisi, Ditjen Pajak menurutnya menggunakan UU pajak yang ada dan Surat Edaran (SE) Ditjen Pajak Nomor 4/2017 tentang penentuan Bentuk Usaha Tetap (BUT) bagi subjek pajak luar negeri yang menyediakan layanan aplikasi dan/atau layanan konten melalui internet.
“Sambil menunggu revisi, jangka pendeknya ada SE/04 yang sebenarnya bukan hal baru karena hanya menegaskan UU. Memang SE bukan bagian dari peraturan perundangan, tapi bisa jadi pedoman sementara,” kata dia.
Selain merumuskan instrumen baru, Ditjen Pajak juga bisa memanfaatkan Multilateral Instrument on Tax Treaty (MLI) yang telah ditandatangani oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani di Prancis. Dengan perjanjian ini, Indonesia akan bisa membidik sektor ekonomi digital.
Kasubdit Pertukaran Informasi Perpajakan Internasional DJP Leli Listianawati mengatakan, dengan disepakatinya MLI oleh Indonesia dengan 33 negara lainnya, akan ada beberapa pasal yang akan diadopsi ke dalam masing-masing treaty. Salah satunya adalah penentuan BUT tidak lagi ditentukan dengan treaty yang ada.
“Dengan treaty yang ada saat ini harus ada fix based. Maka dengan treaty yang saat ini ada tidak bisa tertangkap. Tapi dengan MLI ini ada perubahan definisi dari penentuan BUT itu sendiri sehingga diharapkan dengan MLI kita bisa menangkap adanya treaty abuse,” katanya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News