Reporter: Handoyo | Editor: Handoyo .
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Sejumlah pakar kesehatan sepakat keberadaan produk tembakau alternatif dapat menjadi salah satu solusi menekan tingginya tingkat konsumsi (prevalensi) merokok masyarakat dewasa di Indonesia. Hal ini telah terbukti di sejumlah negara lain yang sebelumnya mengalami situasi sama dengan Indonesia.
Visiting Professor Lee Kuan Yew School of Public Policy National University of Singapore, Tikki Pangestu menjelaskan produk tembakau alternatif merupakan salah satu cara penting mengatasi masalah perokok di Indonesia. “Terutama untuk prevalensi yang sangat tinggi di antara pria Indonesia,” tegas Tikki dalam siaran persnya, Rabu (6/3).
Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Kementerian Kesehatan 2018 menunjukkan jumlah perokok berusia di atas 15 tahun mencapai 33,8% dari total penduduk dewasa. Dari jumlah tersebut, sebanyak 62,9% merupakan perokok laki-laki dan 4,8% perokok perempuan.
Berdasarkan riset Atlas Tobacco, pada 2016 jumlah perokok di Indonesia mencapai hampir 55 juta orang dan berada dalam tren meningkat. Jumlah ini membuat Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menempatkan Indonesia sebagai negara dengan tingkat konsumsi rokok tertinggi ketiga di dunia setelah Cina dan India.
Tikki menjelaskan sudah banyak penelitian ilmiah yang kuat, mutlak, dan jelas mengenai produk tembakau alternatif. Salah satu yang terbaru adalah hasil penelitian pakar kesehatan dari berbagai universitas di London, Inggris yang dipublikasikan dalam The New England Journal of Medicine pada 30 Januari 2019.
Penelitian berjudul “A Randomized Trial of E-Cigarettes versus Nicotine-Replacement Therapy” ini menemukan bahwa penggunaan rokok elektrik hampir dua kali lebih efektif dari penggunaan pengganti nikotin, seperti permen karet, untuk membantu perokok berhenti merokok.
Uji coba terhadap 886 perokok menemukan bahwa 18% perokok yang menggunakan rokok elektrik bertahan untuk berhenti merokok selama satu tahun dibandingkan dengan 9,9% mereka yang memakai terapi pengganti nikotin.
Menurut Tikki, secara umum setidaknya terdapat dua hal yang menjadi kesimpulan berbagai penelitian ilmiah mengenai produk tembakau alternatif. Pertama, produk tembakau alternatif 95% lebih rendah risiko dibandingkan rokok yang dibakar terkait jumlah bahan beracun yang terdeteksi.
Kedua, produk tembakau alternatif dapat membantu perokok berhenti merokok. “Keengganan para profesional kesehatan menerima kenyataan ini adalah suatu fenomena yang mengkhawatirkan dan tidak jelas sebabnya,” tegasnya.
Dia juga sepakat bahwa pemerintah harus memisahkan peraturan mengenai rokok elektrik serta produk tembakau alternatif lainnya dengan produk rokok konvensional. Saat ini, produk tembakau alternatif masih masuk dalam kategori hasil pengolahan tembakau lainnya (HPTL) dan diperlakukan sama dengan produk rokok konvensional dengan tarif cukai hingga 57%.
Padahal, mengacu pada berbagai penelitian ilmiah yang menyimpulkan risiko lebih rendah, tarif cukai produk tembakau alternatif seharusnya lebih kecil dibandingkan rokok konvensional.
Baik Pemerintah maupun akademisi di Indonesia perlu untuk menelaah kembali melalui penelitian lebih lanjut mengenai produk tembakau alternatif sehingga kebijakan yang disusun dapat lebih komprehensif dan tepat. “Pemerintah perlu menyusun kerangka kebijakan yang tepat dan sesuai terkait pengaturan produk tembakau alternatif,” ujar Tikki.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News