Sumber: Kompas.com | Editor: Sanny Cicilia
JAKARTA. Pemerintah ketar-ketir. Di tengah kebutuhan belanja yang begitu besar, hingga mencapai Rp 2.047,8 triliun – berdasarkan usulan RAPBN-P 2016 – penerimaan negara ditaksir hanya mencapai Rp 1.734,5 triliun.
Artinya, ada defisit sebesar Rp 313,3 triliun atau sekitar 2,48% dari Produk Domestik Bruto (PDB).
Kebijakan pengampunan pajak diupayakan ‘lolos’, dengan harapan dapat menambal sedikit bolongnya anggaran.
Namun demikian, masih belum pastinya penerimaan pajak dari Tax Amnesty, dan pencapaian target pajak tentu menjadi kecemasan defisit bakal membengkak.
Padahal, berdasarkan undang-undang, pemerintah terikat untuk menjaga defisit anggaran di bawah 3%.
Kalau sudah begitu, lantas apa pilihan yang bisa diambil pemerintah untuk kemungkinan-kemungkinan yang tidak pasti itu?
Menurut Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo, Rabu (22/6) setidaknya ada dua jalan yang bisa ditempuh, yaitu solusi jangka pendek dan solusi jangka panjang.
“Solusi jangka pendeknya, untuk menjaga defisit anggaran agar tidak membesar, pemerintah dapat melakukan upaya dari sisi pengeluaran maupun dari sisi penerimaan,” kata Yustinus.
Di sisi pengeluaran, pemerintah dapat melakukan efisiensi atau pemotongan anggaran yang tidak produktif. Sebagai pengingat beberapa waktu lalu, Presiden sudah menginstruksikan pemotongan anggaran sebesar Rp 50,01 triliun.
Namun menurut Yustinus, tanpa Tax Amensty, pemerintah perlu melakukan pemotongan belanja sekitar Rp 275 triliun. Sedangkan dengan Tax Amnesty (sesuai target penerimaan Rp 165 triliun), pemotongan yang dilakukan minimal sebesar Rp 110 triliun, agar defisit tetap terjaga di angka 3% dari PDB.
“Namun demikian, meskipun dalam jangka pendek dapat mengatasi defisit anggaran, pemotongan anggaran yang besar berisiko mempengaruhi perekonomian secara keseluruhan, terutama dengan pemotongan anggaran yang terkait berbagai keperluan publik,” ucap Yustinus.
Pemotongan anggaran berpotensi menurunkan pelayanan kepada masyarakat dan terhambatnya pembangunan infrastruktur. Dengan demikian, pada akhirnya pemotongan anggaran tersebut dapat mempengaruhi pertumbuhan ekonomi yang pada akhirnya semakin memperparah kondisi keuangan negara.
Oleh karena itu, sambung Yustinus, solusi terbaik adalah menggenjot sisi penerimaan. Dengan kondisi seperti sekarang ini, pemerintah berada dalam tekanan pemungutan pajak dan dipaksa untuk kreatif mencari sumber-sumber potensi perpajakan yang baru.
“Pemerintah tentu tak cukup hanya mengandalkan Tax Amnesty untuk menyelamatkan anggaran dari ancaman ‘shortfall’ pajak yang menghantui,” ujar Yustinus.
Banyaknya potensi pajak yang belum tergali membutuhkan usaha ekstra keras dari pemerintah, yakni dengan melakukan pembaruan sistem perpajakan yang menyeluruh.
Hal tersebut dilakukan dengan melakukan intensifikasi dari database yang dimiliki, penguatan kelembagaan Direktorat Jenderal Pajak, revisi Undang-Undang Perbankan yang memperluas akses ke data perbankan, implementasi SIN (Single Identification Number), dan koordinasi penegakan hukum perpajakan.
“Di tingkat internasional, pemerintah juga perlu untuk memaksimalkan EOI untuk membongkar skema penghindaran pajak lintas batas,” imbuh Yustinus.
Adakah solusi lain?
Yustinus mengemukakan solusi lain untuk menjaga defisit anggaran tidak melampaui 3%.
Upaya yang dapat dilakukan yaitu meningkatkan efisiensi penganggaran. “Untuk penganggaran yang lebih efisien dan tepat sasaran, anggaran sebaiknya dialokasikan sesuai program prioritas yang akan dijalankan atau ‘money follow function’,” ucap Yustinus.
Selama ini dalam penerapannya anggaran yang dialokasikan ke berbagai institusi atau unit kerja mengacu pada berapa besar dana yang diterima tahun lalu.
Dengan kata lain, dana dialokasikan di muka, sebelum disusunnya kegiatan dan program.
Misalnya, kata Yustinus, ketika APBN naik 12% maka semua unit dapat menganggarkan kenaikan 12%.
Agaknya pemerintah perlu belajar dari pengalaman 10 tahun terakhir ketika target penerimaan pajak tidak pernah tercapai (kecuali 2008).
Dengan tidak tercapainya target penerimaan pajak, tentu pilihannya adalah menambah utang atau memotong alokasi anggaran yang telah direncanakan.
Pada 2015 ketika penerimaan pajak hanya mencapai 81,9%, belanja harus ditekan menjadi 91,2% dari target APBN-P 2015. (Estu Suryowati)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News