kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45927,64   6,18   0.67%
  • EMAS1.325.000 -1,34%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Agar ASN tidak terseret ritual politik lima tahunan, ini saran Korpri


Kamis, 19 November 2020 / 20:31 WIB
Agar ASN tidak terseret ritual politik lima tahunan, ini saran Korpri
ILUSTRASI. Agar ASN tidak terseret ritual politik lima tahunan, ini saran Korpri


Reporter: Vendy Yhulia Susanto | Editor: Noverius Laoli

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Ketua Umum Dewan Pengurus Korps Pegawai Republik Indonesia Nasional (DPKN) Zudan Arif Fakrulloh memandang perlu merumuskan satu solusi agar tidak terulang dan tidak menimbulkan kegaduhan terkait netralitas ASN setiap kali ada penyelenggaraan Pilkada.

"Meskipun persentasinya sedikit sekali, yakni dari 4,2 juta ASN yang tidak netral itu tidak banyak. Jumlahnya di bawah 1.000, tapi sangat noise. Menimbulkan image seolah-olah ASN itu banyak yang tidak netral," kata Zudan dalam keterangan tertulis yang diterima Kontan, Kamis (19/11).

Zudan menegaskan bahwa ASN yang netral jauh lebih banyak. Meski sedikit jumlahnya, Ia menyebut, tetap harus ditangani persoalan tersebut. Ia mengajak semua pihak memikirkan sistem merit baru agar ASN tidak menjadi korban dari ritual politik lima tahunan.

"Saya sebut 'ritual politik lima tahunan' karena setiap lima tahun paska pilkada terjadi tsunami birokrasi. Banyak ASN yang dicopot, banyak ASN yang nonjob," ujar Zudan.

Baca Juga: Belum Ada PP, Skema Dana Pensiun PNS Masih Menggantung

Zudan menilai terdapat dua faktor penyebab ASN menjadi tidak netral, yakni faktor eksternal dan faktor internal. Faktor eksternal terjadi lantaran sistem politik yang ada menyebabkan ASN bisa tidak netral atau dipaksa oleh sistem untuk tidak netral. Misalnya, ketika incumbent maju Pilkada lagi.

"Kalau incumbent gubernur/bupati dan wakilnya maju satu paket tidak ada pergolakan bagi ASN. Apalagi kalau menang. ASN-nya nyaman," ucap dia.

Akan tetapi jika wakil gubernur/bupati incumbent maju, membuat birokrasi bisa terbelah. Sebab, masing-masing calon pejabat yang berharap menang kerap memberikan "gratifikasi politik dan jabatan".

"Nanti kalo saya menang, you dukung saya, you jadi kepala dinas pendidikan. You jadi Kadinas PU, Kadinas Kesehatan. Yang tidak bergerak, tidak berkeringat biar saja di luar pagar. Begitulah bentuk gratifikasi politik," ucap dia.

Zudan menyayangkan sistem politik yang membolehkan pejabat yang tidak maju mencalonkan diri dalam pilkada namun tetap berkampanye. Hal ini banyak terjadi. Misalnya, ASN yang kepala daerahnya sudah dua periode menjabat, ikut kampanye untuk calon separtainya.

"Misalnya, ASN diperintahkan mengerjakan materi yang dikampanyekan. Kalau tidak dikerjakan dimarahi kepala daerah. Kalau dikerjakan, ya kalo calon yang didukung sang kepala daerah itu menang.. kalo kalah, ASN tersebut bisa dinonjobkan calon kepala daerah yang menang. Ini yang menyebabkan ASN tidak nyaman. Ini perlu kita kaji," jelas dia.

Baca Juga: Korpri: Kenaikan gaji 5% terlalu kecil

Zudan menilai regulasi yang mengatur tentang kebolehan kepala daerah/wakil kepala daerah yang sedang berkuasa cuti untuk ikut kampanye mendukung calon tertentu perlu dikritisi. Sebab merugikan ASN dan menjadikan ASN terbelah.




TERBARU
Kontan Academy
Trik & Tips yang Aman Menggunakan Pihak Ketiga (Agency, Debt Collector & Advokat) dalam Penagihan Kredit / Piutang Macet Managing Customer Expectations and Dealing with Complaints

[X]
×