Reporter: Lamgiat Siringoringo | Editor: Hendra Gunawan
JAKARTA. Pemegang obligasi PT Central Proteinaprima Tbk (CPRO) semakin geram dengan tindakan perusahaan keluarga Jiaravanon. Khususnya terkait upaya gugatan dari empat pemegang saham CP prima yang dikuasai oleh pengusaha asal Thailand yang ditujukan kepada Bank Danamon dan Bank of New York Mellon.
Kuasa hukum pemegang obligasi, Todung Mulya Lubis mengatakan, gugatan yang diajukan di Pengadilan Negri (PN) Jakarta Pusat adalah upaya dari perusahaan-perusahaan tersebut untuk lari dari pembayaran utang obligasi. "Tuntutan ini mengada-ada dan tidak ada dasar hukumnya," ujar Todung, Kamis (6/8). Hal ini juga bisa dilihat dari jumlah tuntutan yang tak sebanding dengan kapitalisasi pasar CP Prima yang saat ini hanya sekitar US$ 213 juta dan nilai obligasi yang terutang senilai US$ 125 juta.
Saat ini, memang empat perusahaan yang dikuasai oleh keluarga Jiaravanon sedang mengajukan gugatan sebanyak US$ 4 miliar kepada dua bank tersebut. Kedua bank ini adalah trustee dan agen pemegang jaminan. Gugatan ini terkait dengan upaya kedua bank ini untuk mengeksekusi jaminan obligasi CP Prima. Keempat perusahaan tersebut adalah Red Dragon Group Ltd, Regent Central International, Charm Easy International dan PT Surya Hidup Satwa. Keempat perusahaan ini adalah pemegang saham dari CP Prima.
Karenanya, Todung berharap agar pengadilan tidak menangani tuntutan keempat perusahaan ini. Karena gugatan ini bisa merusak iklim investasi di Indonesia. "Investor akan melihat kenyataan di lapangan sebelum mereka menanamkan modal," ujarnya. Saat ini, menurut Todung, kliennya masih terus berembuk untuk mengajukan upaya hukum terhadap perusahaan-perusahaan keluarga Jiaravanon. "Tinggal kapan yang masih belum bisa ditentukan," ujar Todung.
Pemegang obligasi Red Dragon yang terdiri dari sembilan perusahaan itu menginginkan CPRO menyelesaikan masalah obligasi terlebih dahulu. Bila tidak, pemegang surat utang Red Dragon akan menggugat CPRO ke pengadilan. Kesembilan perusahaan itu antara lain adalah CQS Convertible and Quantitative Strategies Master Fund Limited, CQS Asia Master Fund Limited, GLG Credit Fund, GLG Market Neutral Fund, dan Morgan Stanley International.
Kisruh ini berawal ketika Red Dragon hendak membeli aset tambak udang Dipasena dari tangan PT Perusahaan Pengelola Aset (PPA) pada 2007 silam. Kala itu, Red Dragon menerbitkan obligasi tukar senilai US$ 200 juta. Jaminan atas surat utang berjangka tiga tahun itu berupa saham-saham CPRO milik Red Dragon, Surya Hidup Satwa, Charm Easy, dan Regent Central. Semuanya merupakan perusahaan terafiliasi.
Total saham yang menjadi agunan 15,7 miliar atau setara 70,3% saham CPRO. Red Dragon sendiri memiliki 11,92% saham CPRO. Pada 8 Juni 2007, surat utang itu terbit. Namun, akibat terlilit krisis, Red Dragon gagal bayar. Masalah menjadi rumit ketika harga saham CPRO anjlok, sehingga nilai saham CPRO yang menjadi agunan obligasi Red Dragon turun.
Ditambah lagi, RUPS Independen memutuskan rights issue sehingga terjadi dilusi atas porsi saham milik Red Dragon dan afiliasinya dari semula 70,3% menjadi 39,7%. Sementara, kepemilikan pemegang saham CPRO lain, yakni PT Pertiwi Indonesia naik jadi 44%. Kreditur Red Dragon pun protes lantaran rights issue dilakukan tanpa persetujuan mereka.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News