Reporter: Vendy Yhulia Susanto | Editor: Khomarul Hidayat
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Lima terdakwa dalam perkara dugaan tindak pidana korupsi dalam pemberian fasilitas ekspor crude palm oil (CPO) dan turunannya pada bulan Januari 2021 sampai dengan Maret 2022 atau kasus izin ekspor CPO didakwa telah merugikan keuangan negara Rp 6,04 triliun dan merugikan perekonomian negara Rp 12,31 triliun. Dengan demikian, jika dijumlah kerugian mencapai Rp 18,35 triliun.
Hal itu dikatakan Jaksa Penuntut Umum Kejaksaan Agung dalam persidangan dengan agenda pembacaan surat dakwaan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Rabu (31/8).
Adapun, lima terdakwa dalam kasus ini antara lain, Indrasari Wisnu Wardana selaku Dirjen Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan, Master Parulian Tumanggor selaku Komisaris PT Wilmar Nabati Indonesia; Stanley MA selaku Senior Manager Corporate Affairs PT Victorindo Alam Lestari; Pierre Togar Sitanggang selaku General Manager di Bagian General Affair PT Musim Mas).
Serta Weibinanto Halimdjati atau Lin Che Wei (pendiri dan penasihat kebijakan/analisa PT Independent Research & Advisodry Indonesia sekaligus Tim Asistensi Menko Perekonomian).
Kerugian perekonomian negara terdiri dari kerugian ekonomi yang ditanggung oleh dunia usaha dan rumah tangga dengan rincian kerugian rumah tangga sebesar Rp 1.351.911.733.986,- (Rp 1,35 triliun) dan kerugian dunia usaha sebesar Rp 10.960.141.557.673,- (Rp 10,96 triliun).
Serta, kerugian keuangan negara sebesar Rp 6,04 triliun. Kerugian keuangan negara tersebut merupakan akibat langsung dari terjadinya penyimpangan dalam bentuk penyalahgunaan fasilitas persetujuan ekspor (PE) produk CPO dan turunannya dengan memanipulasi pemenuhan persyaratan DMO/DPO.
Baca Juga: Kasus Korupsi Ekspor CPO, Lin Che Wei dan 4 Tersangka Lainnya Hadapi Sidang Perdana
Dengan tidak disalurkannya DMO dan negara harus mengeluarkan dana BLT dalam rangka mengurangi beban rakyat selaku konsumen.
Kerugian keuangan negara tersebut mencakup beban yang terpaksa ditanggung pemerintah dalam bentuk penyaluran BLT Tambahan Khusus Minyak Goreng untuk meminimalisasi beban 20,5 juta rumah tangga tidak mampu akibat kelangkaan.
Jaksa penuntut umum (JPU) mengatakan, berdasarkan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) nomor 19 tahun 2021 tentang kebijakan dan pengaturan ekspor, diatur mengenai proses verifikasi lapangan yang diperlukan bila berada dalam kondisi penanganan pemenuhan ataupun pengendalian kebutuhan dan pasokan dalam negeri.
Namun kenyataannya, petugas verifikasi tidak melakukan pengecekan lapangan atas dokumen realisasi DMO yang dilampirkan dalam pengajuan PE.
Tim verifikasi hanya merekapitulasi jumlah DMO dan PE yang dilaporkan sehingga jumlah DMO tidak dapat dipastikan kebenaran realisasinya dan dokumen yang di upload oleh pemohon PE ke sistem INATRADE hanya sebatas formalitas saja.
"Hal ini sesuai arahan Indrasari Wisnu Wardhana yang mengarahkan agar verifikasi hanya cukup dengan verifikasi dokumen saja dan tidak perlu verifikasi lapangan," ujar Jaksa Penuntut Umum dalam persidangan, Rabu (31/8).
JPU mengatakan, Indrasari Wisnu Wardhana telah memberikan sejumlah persetujuan ekspor bagi pelaku usaha yang sebenarnya tidak memenuhi kewajiban DMO, dimana dalam periode pemberian persetujuan ekspor tersebut, minyak goreng masih mengalami kelangkaan dan sulit didapatkan oleh masyarakat. Adapun kewajiban DMO tersebut yakni sebesar 20%.
Selama proses pengajuan permohonan dan penerbitan persetujuan ekspor, terdapat sejumlah pertemuan langsung dan komunikasi melalui chat whatssapp dalam rangka pengurusan untuk mendapatkan persetujuan ekspor CPO dan produk turunannya yang dilakukan antara Indrasari Wisnu Wardhana dengan perwakilan para pelaku usaha.
Yaitu, Master Parulian Tumanggor dari Grup Wilmar, Stanley MA dari Grup Permata Hijau, Pierre Togar Sitanggang dari Grup Musim Mas.
JPU menyebut, kenyataan tidak terealisasinya distribusi dalam negeri sampai ke masyarakat, telah diketahui oleh Indrasari dan Lin Che Wei. Namun, Indrasari tetap memberikan persetujuan ekspor kepada pelaku usaha.
Meskipun mengetahui realisasi DMO minyak goreng di pasar dalam negeri belum dipenuhi oleh pelaku usaha, namun Lin Che Wei tetap membuat analisis realisasi komitmen (pledge) dari pelaku usaha.
Analisis realisasi pledge tersebut diserahkan kepada Indrasari Wisnu Wardhana yang selanjutnya dijadikan dasar dalam penerbitan persetujuan ekspor kepada pelaku usaha.
Pada tanggal 24 Februari 2022, Lin Che Wei mengatakan kepada Indrasari Wisnu Wardhana melalui chat whatsapp untuk memastikan bahwa skema distribusi minyak goreng yang dilakukan oleh pelaku usaha melalui pledge selama sebulan masih bersifat volunteer dan skema DMO masih belum diberlakukan.
Padahal distribusi minyak goreng dalam negeri telah diatur secara tegas dalam Permendag Nomor 8 Tahun 2022 dan turunannya dalam Kepmendag Nomor 127 Tahun 2022 yang secara tegas menyatakan realisasi distribusi kebutuhan dalam negeri (DMO) sebesar 20% yang dibuktikan dengan melampirkan kontrak penjualan dalam negeri, PO, DO dan faktur pajak.
JPU mengatakan, terdapat 5 perusahaan yang tergabung dalam Grup Wilmar yang telah mengajukan 11 permohonan PE dalam rentang waktu Februari 2022 sampai dengan Maret 2022.
PT Wilmar Nabati Indonesia (WINA), PT Multimas Nabati Asahan (MNA), PT Sinar Alam Permai (SAP), PT Multi Nabati Sulawesi (MNS), PT Wilmar Bio Energy Indonesia mempunyai kewajiban distribusi kebutuhan dalam negeri/domestic market obligation (DMO) CPO dan turunannya dalam hal ini minyak goreng sebanyak 240.890.000 Kilogram. Tetapi kewajiban tersebut hanya sebanyak 27.505.728 kg.
Sehingga terdapat kekurangan DMO sebanyak 213.384.272 kg atau 234.722.699 liter sehingga distribusi kebutuhan dalam negeri/domestic market obligation (DMO) kurang dari 20%.
Lalu, perusahaan yang tergabung dalam grup Permata Hijau yaitu PT Permata Hijau Palm Oleo, PT Nubika Jaya, PT Nagamas Palmoil Lestari, PT Pelita Agung Agriindustri, PT Permata Hijau Sawit, PT Victorindo Alam Lestari, mengajukan permohonan persetujuan ekspor CPO dan turunannya melalui David Virgo (Direktur pada 5 perusahaan tersebut).
Adapun total rencana ekspor kelima perusahaan tersebut adalah 128.088.085 kilogram dan DMO sebanyak 27.147.259 kg.
Jumlah keseluruhan persetujuan ekspor yang diterbitkan Indrasari kepada perusahaan perusahaan yang tergabung dalam Grup Permata Hijau Permai sejak 9 Februari sampai dengan 17 Maret 2022. Namun demikian dari jumlah kewajiban DMO yang seharusnya dilakukan tersebut tidak seluruhnya direalisasikan sehingga terdapat selisih antara kewajiban DMO dengan realisasi DMO. Yakni 15.679.542 kg. Hanya PT Nubika Jaya saja yang merealisasikan DMO sesuai dengan kewajiban DMO.
Selanjutnya, jumlah persetujuan ekspor yang diterbitkan Kemendag kepada 7 perusahaan yang tergabung dalam Grup Musim Mas sebanyak 41 PE dengan total ekspor sebanyak 775.202154 kilogram.
Dari 7 perusahaan tersebut, hanya PT Mikie Oleo Nabati Industri yang merealisasikan DMO sesuai dengan kewajiban DMO. Adapun total jumlah DMO dari 6 perusahaan yang tidak disalurkan sebanyak 78.969.720 kilogram.
Para terdakwa disebut melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-Undang (UU) RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana.
Atas dakwaan tersebut, para terdakwa mengajukan eksepsi. Ketua Majelis Hakim Liliek Prisbawono Adi mengatakan, Eksepsi diagendakan akan dilakukan pada Selasa 6 September 2022 pukul 09.00 WIB.
Baca Juga: Kebijakan Minyak Goreng yang Tak Konsisten Jadi Penyebab Tindak Pindana Korupsi
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News