kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45924,65   -6,71   -0.72%
  • EMAS1.319.000 -0,08%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Pro-kontra implementasi SVLK


Senin, 12 Oktober 2015 / 17:45 WIB
Pro-kontra implementasi SVLK


Reporter: Noverius Laoli | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie

JAKARTA. Pro-kontra kewajiban implementasi Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) makin hangat dibicarakan belakangan ini.

Hal itu dipicu dengan munculnya rancangan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) yang berencana menghapus kewajiban SVLK untuk 15 klasifikasi produk-produk mebel seperti tertuang dalam draf revisi Peraturan Menteri Perdagangan No.66/2015.

Adapun beleid yang akan diubah itu merupakan pengganti Permendag No. 12/2014 tentang Ketentuan Ekspor Produk Industri Kehutanan yang terbit pada 27 Agustus dan menghapus masa berlaku Deklarasi Ekspor (DE).

Kemdag beralasan, SVLK hanya wajib di hulu alias penghasil kayu. Sementara di hilir, terutama di mebel dan furnitur tidak wajib. Sontak rancangan permedag ini mengudang pro-kontra di lapangan.

Direktur Eksekutif Asosiasi Industri Permebelan & Kerajinan Indonesia (Asmindo) Lisman Sumardjani mengatakan pemerintah sebelumnya mewajibkan per 1 Januari 2016 semua produk kayu dalam negeri sudah wajib SVLK. Kebijakan itu disusul dengan masa berlaku DE hanya sampai akhir tahun 2015 ini.

Tapi rancangan kebijakan permendag yang baru ini yang menghapus masa berlaku DE dan tidak mewajibkan seluruh ekspor kayu dari Indonesia wajib SVLK membayar semua itu.

Karena itu, Lisman mendukung upaya Kementerian Lingungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) yang berupaya melobi Uni Eropa untuk memberlakukan penerapan penuh syarat SVLK untuk produk kayu dan mebel yang diekspor ke UE.

Dengan adanya pemberlakukan penuh SVLK sebagai syarat utama dibelinya produk kayu dari Indonesia, niscaya penggunaan SVLK dalam negeri akan meluas.

"Jadi DE itu hanya syarat keluar produk dari Indonesia, bukan untuk meyakinkan buyer untuk menerima produk kita," ujar Lisman, Senin (12/10).

Lisman mengatakan, selama ini sebagian pengusaha kayu dan mebel enggan memakai SVLK karena tidak digunakan penuh di UE. Akibatnya, sebagian pengusaha kayu merasa tidak ada manfaat menggunakan SVLK karena tidak menjadi jaminan bahwa produk yang sudah menggunakan SVLK akan dibeli di UE.

Karena itu, ia mendesak pemerintah tak hanya mewajibkan industri pengolahan kayu untuk memenuhi SVLK, tapi juga memaksa negara pasar seperti Uni Eropa untuk bisa menerima SVLK secara wajib.

"Dokumen SVLK harus diakui sebagai lisensi FLEGT," kata Lisman.

Indonesia dan Uni Eropa saat ini memang terikat perjanjian kemitraan sukarela (VPA) untuk penegakan hukum, perbaikan tata kelola dan perdagangan sektor kehutanan (FLEGT). Menjadi bagian dari perjanjian itu adalah komitmen Indonesia untuk hanya mengekspor kayu legal.

Di sisi lain, Uni Eropa juga berjanji hanya menerima kayu legal yang telah berlisensi FLEGT. Saat ini, negara yang terdepan dalam proses mendapat lisensi FLEGT adalah Indonesia.

Direktur Kehutanan dan Sumber Daya Air Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/ Bappenas Basah Hernowo menegaskan implemetasi SVLK adalah bagian dari Rencana Pembangunan Jangka Menengah 2014-2019. "SVLK adalah instrumen untuk mendukung pengelolaan hutan lestari," katanya.

Basah menyatakan, saat ini saja diduga masih banyak kayu ilegal dari Indonesia yang mengalir luar negeri. Kenyataan itu diharapkan bisa terus dikurangi jika SVLK ditetapkan dari hulu hingga hilir.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
EVolution Seminar Supply Chain Management on Sales and Operations Planning (S&OP)

[X]
×