kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45923,25   -8,11   -0.87%
  • EMAS1.319.000 -0,08%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Praperadilan porakporandakan konstruksi hukum KPK


Selasa, 30 Juni 2015 / 10:00 WIB
Praperadilan porakporandakan konstruksi hukum KPK


Sumber: Kompas.com | Editor: Sanny Cicilia

JAKARTA. Jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi Yudi Kristiana mengatakan, KPK memiliki ketentuan sendiri yang diatur dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK. Undang-undang ini lebih khusus dibandingkan KUHAP yang dijadikan dasar hukum aparat penegak hukum lain. Namun, perbedaan konstruksi hukum tersebut kerap menjegal KPK di praperadilan. 

Yudi mengatakan, konstruksi hukum KPK yang dipakai lebih dari 10 tahun dimentahkan dalam putusan praperadulan yang diajukan mantan Direktur Jenderal Pajak, Hadi Poernomo. Dalam putusan praperadilan, penyelidikan Hadi dianggap tidak sah karena penyelidiknya bukan berasal dari kejaksaan. 

"Tapi konstruksi berpikir ini diporakporandakan. Cara berpikir yang dilakukan KPK, best practice KPK 10 tahun seperti ini, dengan HP jadi diporakporandakan," kata Yudi di Gedung KPK, Jakarta, Senin (29/6). 

Padahal, dalam putusan mantan Wali Kota Makassar, Ilham Arief Sirajuddin, hakim tidak mempermasalahkan keabsahan penyelidik dan penyidik KPK. Hakim memutuskan penetapan Ilham tidak sah karena KPK tidak menghadirkan dua alat bukti asli dalam penetapan tersangka. 

Belajar dari putusan tersebut, KPK mempersiapkan seluruh dokumen dan alat bukti seperti keterangan saksi hingga sejumlah ahli hukum dan administrasi negara untuk dihadirkan dalam sidang Hadi Poernomo. Namun, kata Yudi, hakim mencari celah lain yaitu dengan mengungkit keabsahan penyelidik dan penyidik KPK. 

"Kita sudah hadirkan semua karena memang sudah hampir selesai penyidikan. Tapi dicari celah lain tentang keabsahan penyidik dan penyelidikan," kata Yudi. 

Yudi lantas menjabarkan sejumlah perbedaan konstruksi hukum di KPK dengan aparat penegak hukum lainnya. Ia mengatakan, KPK butuh dua atau lebih alat bukti untuk menaikkan kasus ke tingkar penyidikan. 

Sementara, aparat penegak hukum lain hanya butuh satu alat bukti untuk melakukan penyidikan. Selain itu, terdapat perbedaan dalam penetapan tersangka. Di KPK, kata Yudi, penetapan tersangka dilakukan bersamaan dengan penerbitan surat perintah penyidikan (Sprindik). 

Ada pun, aparat penegak hukum lain dapat menetapkan tersangka setelah dilakukan penyidikan, tidak harus dalam waktu bersamaan. Dengan munculnya putusan praperadilan, kata Yudi, membuat KPK dilema untuk tetap berpedoman pada undang-undang yang selama ini menjadi kiblat KPK atau akan disesuaikan dengan KUHAP.

"Peraturan ini termasuk ruang yang kerap diperdebatkan. Apakah masih kita pertahankan atau mengikuti praperadilan yang mengacu pada KUHAP," kata Yudi. (Ambaranie Nadia Kemala Movanita)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
EVolution Seminar Supply Chain Management on Sales and Operations Planning (S&OP)

[X]
×