kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45920,31   -15,20   -1.62%
  • EMAS1.345.000 0,75%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Penertiban administrasi di desa cegah sengketa dan konflik pertanahan


Sabtu, 28 November 2020 / 22:42 WIB
Penertiban administrasi di desa cegah sengketa dan konflik pertanahan
ILUSTRASI. Presiden Jokowi bagikan sertifikat tanah untuk rakyat


Reporter: Dadan M. Ramdan | Editor: Dadan M. Ramdan

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Hingga saat ini, sengketa dan konflik pertanahan masih saja terjadi akibat sejumlah faktor. Pasalnya, Kebutuhan akan tanah mendorong tanah diperebutkan dan dimanipulasi karena mempunyai nilai ekonomi tinggi. Sebab itu perlu upaya pencegahan sengketa dan konflik pertanahan melalui penertiban administrasi pertanahan di tingkat desa dan kecamatan

Demikian disampaikan Surya Tjandra, Wakil Menteri ATR/BPN dalam webinar bertema  pencegahan sengketa dan konflik pertanahan yang digelar Tim Sistem Informasi Administrasi Pertanahan Kecamatan, Pengabdian dan Pemberdayaan Masyarakat DRPM Universitas Indonesia, Sabtu (28/9/2020).

Menurut Surya, ada beberapa faktor penyebab timbulnya sengketa dan konflik pertanahan. Pertama, akibat belum optimalnya kebijakan satu peta. Hal ini terjadi karena, antar kementerian memiliki perspektif data peta yang berbedabeda yang kemudian menimbulkan konflik dengan kawasan hutan, konflik transmigrasi, dan lainnya. "Sedangkan Kementerian ATR/BPN tidak memiliki kewenangan menguji materiil," katanya.

Kedua, belum tertib administrasi. Surya menjelaskan, belum ada pengelolaan plotting/pemetaan bidang tanah di desa. Pengelolaan arsip pertanahan masih manual dan hardcopy dan transparansi pelayanan pertanahan belum maksimal.

Ketiga, banyaknya Institusi yang mengelola surat tanah. "Terdapat surat-surat tanah seperti SPPT/PBB, Surat Keterangan Tanah (SKT), Verponding yang dikelola dan dikeluarkan oleh berbagai institusi seperti Kementerian ATR/BPN, Kantor Pajak, pemda, kecamatan, dan desa," ungkapnya.

Keempat, keterbatasan anggaran dan SDM. Tak pelak, pelayanan pertanahan menjadi berbelit-belit dan tidak transparan. Hal ini memicu efek domino yang menyebabkan sengketa dan konflik laten menjadi sengketa dan konflik terbuka. "Kasus Sengketa dan konflik pertanahan tercatat 5.447 kasus pada tahun 2019. Sebanyak 1.291 kasus dapat diselesaikan pada tahun 2019 dan tahun 2020 ada penyelesaian sebanyak 1.019 kasus," beber Surya.

Untuk menyelesaikan sengketa dan konflik pertanahan, Kementerian  ATR/BPN melakukan penertiban administrasi dan peningkatan kapasitas SDM dan transformasi digital pelayanan.  Transformasi pelayanan digital dijalankan lewat aplikasi e-office, Sentuh Tanahku, Hak Tanggungan Elektronik, Aplikasi Sengketa Konflik Perkara, Sistem Informasi Pengawasan Teknis (Siwastek), Sigtora, Protaru, Petabidang, Sistem Informasi Pengaduan bersama World Resources Institute (on progress).

Surya menambahkan, dari pendekatan ini diharapkan oputnya adalah Pelayanan pertanahan menjadi transparan dan sistematis, peningkatan kapasitas SDM baik di Kementerian ATR/BPN maupun di tingkat perangkat desa/kecamatan dalam hal pengelolaan administrasi pertanahan. Kemudian, mendorong kerjasama dan kemitraan dengan masyarakat maupun pihak ketiga untuk peningkatan pelayanan publik.

"Yang pasti, pencegahan sengket adan konflik pertanahan melalui penertiban administrasi di tingkat desa maupun kecamatan membutuhkan koordinasi lintas sektor yang erat, mulai dari aspek tertib administrasi hingga adanya indikasi konflik dan sengketa," imbuh Surya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Supply Chain Management on Sales and Operations Planning (S&OP) Negosiasi & Mediasi Penagihan yang Efektif Guna Menangani Kredit / Piutang Macet

[X]
×