kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45935,51   7,16   0.77%
  • EMAS1.335.000 1,06%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Pelanggar pemanfaatan tata ruang dikenai denda lebih tinggi dalam UU Cipta Kerja


Kamis, 24 Desember 2020 / 07:33 WIB
Pelanggar pemanfaatan tata ruang dikenai denda lebih tinggi dalam UU Cipta Kerja
ILUSTRASI. Suasana pemukiman di kawasan Puncak, Bogor, Jawa Barat, Selasa (26/5/2020).


Reporter: Yudho Winarto | Editor: Yudho Winarto

KONTAN.CO.ID - ​JAKARTA. Akademisi Fakultas Syariah dan Hukum (FSH) UIN Walisongo Semarang Briliyan Erna Wati menyampaikan kajiannya, bahwa Undang-Undang No. 11/2020 tentang Cipta Kerja meningkatkan nominal pidana denda bagi subyek hukum yang melanggar ketentuan pemanfaatan tata ruang.

“UU Cipta Kerja lebih bagaimana meningkatkan atau memberikan denda yang lebih tinggi daripada pengaturan di UU yang lama (UU no. 26/2007 tentang Penataan Ruang), karena secara redaksional atau substansi sama,” beber Briliyan dalam keterangannya saat seminar daring bertajuk Pertanggungjawaban Pidana dalam UU Cipta Kerja, pada Rabu (23/12).

Dalam diskusi yang digelar Centre of Law and Constitution Studies (CLC-Studies) UIN Walisongo Semarang dan Pusat Pengabdian untuk Masyarakat (PPM) UIN Syarif Hidayatullah, Briliyan memaparkan perbandingan pasal-pasal hukuman pidana yang diatur UU Cipta Kerja dengan UU yang diubah dalam Omnibus Law tersebut, UU Penataan Ruang.

Misalnya, perubahan dalam pasal 69 ayat (1). Jika dalam UU Penataan Ruang berbunyi, “Setiap orang yang tidak menaati rencana tata ruang yang telah ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 huruf a yang mengakibatkan perubahan fungsi ruang, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).”

Baca Juga: Moratorium kapal tangkap dicabut, BKPM: Tren pasokan ikan di KEK Bitung membaik

UU Cipta Kerja, terkait pelanggaran tersebut, mengubahnya menjadi, “… Dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)”.

Kemudian, pada pasal 69 ayat (2) dalam UU Cipta Kerja juga meningkatkan nominal pidana denda dari 1,5 miliar menjadi 2,5 miliar bagi pemanfaat ruang yang mengakibatkan kerugian terhadap harta benda atau kerusakan barang. Sedangkan pada ayat (3) menjadi 8 miliar, yang dalam UU sebelumnya 5 miliar, bagi yang mengakibatkan kematian orang, selain dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 tahun.

Dosen Hukum Pidana FSH UIN Walisongo ini juga menyampaikan peningkatan nominal denda dalam UU Cipta Kerja, pada ketentuan pasal 70 ayat 1-3, pasal 71 dan pada pasal 74 yang mengatur ketentuan pidana bagi subyek hukum korporasi.

“Pemidanaan bagi korporasi itu dengan kumulatif, penjara sekaligus denda dengan pemberatan sepertiga, serta hukuman administrasi,” terang pengurus CLC-Studies ini.

Briliyan memberi catatan. Menurutnya, UU Cipta Kerja tidak memperbaiki pengaturan dalam UU Penataan Ruang terkait hukuman pidana bagi korporasi. “Menjadi permasalahan yuridis manakala denda itu tidak dibayarkan. Korporasi itu bentuknya gedung, tidak mungkin korporasi dipenjara,” tuturnya.

Untuk itu, ia berharap ada aturan yang mengatur persoalan jika sebuah korporasi yang dipidana denda tidak sanggup atau tidak beritikad untuk membayar.

Catatan lain juga ia tujukan untuk hukuman pidana bagi pejabat berwenang dalam UU Cipta Kerja yang tidak meningkatkan bobot hukuman pidana yang diatur dalam pasal 112 UU no. 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH).

Dalam kesempatan ini, Briliyan juga menyampaikan peningkatan nominal pidana denda bagi pelanggar yang diatur dalam UU Cipta Kerja dan  mengubah beberapa pasal dalam UU  No. 1/2014 tentang Perubahan Atas UU no. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, serta dala UU 32 tahun 2014 tentang Kelautan.

Baca Juga: Pakar IPB ingatkan RPP kawasan hutan jangan sampai merugikan petani

Kepala Program Studi Ilmu Hukum  FSH UIN Walisongo menyebut, UU Cipta Kerja dihadirkan atas beberapa pertimbangan, yang disikapi dengan melakukan penyesuaian berbagai aspek regulasi.

“UU Cipta Kerja  muncul atas pertimbangan untuk memenuhi hak warga negara atas pekerjaan yang layak bagi kemanusiaan. Di tengah-tengah persaingan kerja yang semakin kompetitif dan tuntutan globalisasi ekonomi, Cipta Kerja diharapkan mampu menyerap seluas-luasnya tenaga kerja,” tuturnya.

Untuk itu, lanjutnya, perlu penyesuaian berbagai aspek regulasi yang berkaitan dengan kemudahan, perlindungan dan pemberdayaan koperasi dan usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM), percepatan Proyek Strategis Nasional (PSN), termasuk peningkatan perlindungan pekerja.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×