kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.222.000 0,41%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Menyimak langkah KPK dalam optimalkan asset recovery kasus korupsi


Minggu, 06 Mei 2018 / 19:39 WIB
Menyimak langkah KPK dalam optimalkan asset recovery kasus korupsi
ILUSTRASI. Logo KPK


Reporter: Anggar Septiadi | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Wakil ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Saut Situmorang menilai ada banyak tantangan yang dihadapi dalam memaksimalkan hukuman bagi terdakwa korupsi.

Terlebih dari aspek vonis uang pengganti yang sangat minim dibandingkan kerugian negara yang diderita. Dari riset Indonesian Corruption Watch, sepanjang 2017 hanya ada Rp 1,44 triliun, ditambah adanya hukuman berupa denda senilai Rp 110 miliar.

Nilai tersebut sangat jauh dibandingkan kerugian negara dari hasil korupsi yang dicatat ICW sepanjang 2017, yaitu senilai Rp 29,41 triliun.

Nah Saut bilang beberapa upaya yang dapat dilakukan KPK guna mengoptimalkan asset recovery tersebut adalah soal memaksimalkan penuntutan. Terlebih di KPK, ada peran para pimpinan KPK yang dapat mengonsolidasikan hal tersebut kepada Jaksa Penuntut Umum.

"Tuntutan datang dari banyak pertimbangan, dan pimpinan KPK melakukan klarifikasi kepada Jaksa Penuntut Umum soal tuntutan yang akan diberikan," kata Saut saat dihubungi KONTAN, Minggu (6/5).

Selain dari segi penuntutan, Saut juga bilang, KPK bisa memaksimalkan peran Unit Pengelolan Barang Bukti dan Sitaan (Labuksi) KPK dalam soal pengembalian aset.

Kata Saut, Unit Labuksi KPK dapat memaksimalkan perannya untuk menelusuri hasil-hasilnya korupsi, untuk kemudian disita negara.

"Unit Labuksi KPK akan lebih intens berkoordinasi keluar dan ke dalam KPK guna lebih efisien dan efektif melakukan upaya pengembalian atas ganti rugi Milik negara," sambungnya.

Meski demikian kata Saut, upaya memperberat vonis terhadap koruptor, tak semata kerja KPK. Selain soal KPK bukan satu-satunya lembaga yang dapat menuntut kasus korupsi, di sisi lain putusan tetap otoritas hakim.

"Memaksimalkan tuntutan bukan isu baru, hakim di sisi lain punya kewenangan memutuskan tuntutan. Justru di sana check and balance, bukan hanya KPK yang berwenang, itu criminal justice system secara keseluruhan," lanjutnya.

Sementara itu, peneliti Pusat Studi Anti Korupsi Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM) Zaenur Rohman menyatakan, optimalisasi asset recovery juga dapat dilakukan dengan cara memasukkan pasal tindak pidana pencucian uang (TPPU).

"Bisa pakai TPPU, sebab di sana fokusnya kan follow the money, jadi bukan hanya subjek terdakwa korupsinya," katanya saat dihubungi KONTAN, Minggu (6/5).

Lagipula pengenaan pasal pencucian uang, pun kata Zaenur, bisa digunakan bagi jaksa penuntut umum dalam dakwaan, ketika pembuktian tindak pidana korupsi buntu. Sehingga, dapat memperkuat dakwaan.

"TPPU bisa digunakan jika hasil kejahatan korupsi dialihkan, sehingga menyulitkan pembuktian tindak pidana korupsinya," sambungnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×