Reporter: Muhammad Yazid | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
JAKARTA. Rencana pemerintah dan DPR RI untuk membahas klausul pengampunan pajak alias tax amnesty dalam RUU Pengampunan Nasional mendapat kritikan dari sejumlah LSM khususnya dari sektor pertambangan. Pasalnya, calon kebijakan itu dirasa kurang adil dan justru menimbulkan ketidakpastian hukum.
Wiko Saputra, Peneliti Kebijakan Ekonomi Publish What You Pay (PWYP) Indonesia bilang, jumlah aliran uang ilegal di Indonesia mencapai Rp 227,75 triliun pada 2014. Nah, sektor pertambangan menyumbang porsi terbesar dalam aliran uang yang bertujuan untuk menghindari atau upaya penggelapan pajak, jumlahnya sekitar Rp 23,89 triliun.
Menurut dia, aliran uang ilegal di sektor pertambangan umumnya lewat transaksi faktur palsu. Maklum, hal tersebut dilakukan oleh pelaku tambang ilegal alias illegal mining. Selain itu, juga tak menutup kemungkinan kejahatan penggelapan pajak turut melibatkan perusahaan pertambangan baik minyak dan gas bumi (migas) maupun mineral dan batubara skala besar.
Sebagai gambaran, data realisasi penerimaan pajak di sektor pertambangan hanya sebesar Rp.96,9 triliun. "Bandingkan dengan produk domestik bruto (PDB) sektor pertambangan yang mencapai Rp 1.026 triliun, artinnya rasio penerimaan pajak terhadap PDB (tax ratio) hanya sebesar 9,4%," kata Wiko, akhir pekan lalu.
Selain itu, hasil koordinasi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) juga ditemukan 1.880 izin usaha pertambangan (IUP) tidak mempunyai nomor pokok wajib pajak (NPWP). Bahkan, sebanyak 2.741 perusahaan terbukti tidak melaporkan surat pemberitahuan (SPT).
Sebab itu, Wiko keberatan rencana pemberian pengampunan pajak pada pengusaha termasuk di sektor pertambangan yang berpotensi terlibat dalam ilegal mining serta kerusakan lingkungan. "Melihat praktik kejahatan perpajakan yang dilakukan oleh perusahaan pertambangan, sangat tidak adil jika mereka diberikan pengampunan," kata dia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News