kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.249.000 2,21%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Jepang usul tambah rel untuk kereta cepat Jkt-Sby


Jumat, 17 November 2017 / 14:32 WIB
Jepang usul tambah rel untuk kereta cepat Jkt-Sby


Reporter: Agus Triyono | Editor: Dupla Kartini

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Rencana pembangunan proyek kereta semi cepat Jakarta Surabaya memasuki episode baru. Jepang mengusulkan pembangunan rel baru di jalur kereta Jakarta-Surabaya yang sudah ada sekarang (eksisting) menjadi tiga.

Satu rel, khusus digunakan untuk mengakomodir kereta semi cepat yang akan mereka bangun.

Menteri Perhubungan Budi Karya Sumad mengatakan, usulan tersebut disampaikan oleh Japan Internasional Cooperation Agency (JICA). "Secara informal sekitar tiga atau empat hari lalu," katanya, Jumat (17/11).

Atas usulan tersebut, Budi bilang, akan mengajak ahli membuat studi bersama untuk melihat kelaikan usulan tersebut. Studi dilakukan dengan tujuan untuk melihat biaya yang diperlukan dan kepada siapa itu akan dibebankan.

Hitungan Budi, kebutuhan investasi yang diperlukan untuk membangun jalur baru untuk kereta semi cepat yang diusulkan Jepang akan mahal. Maklum saja, selain rel, pembangunan juga akan berdampak pada pembangunan perlintasan sebidang yang akan dilewati kereta.

"Pasti akan lebih panjang karena untuk tiga rel dan biayanya akan lebih besar walau saya maunya Rp 60 triliun," katanya.

Budi menargetkan, studi lanjutan tersebut selesai akhir tahun ini. Pemerintah Indonesia dan Jepang berencana untuk kerja sama dalam pembangunan proyek kereta Jakarta-Surabaya.

Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut B Pandjaitan beberapa waktu lalu mengatakan, pemerintah ingin proyek dilakukan dengan merehabilitasi jalur kereta yang sudah ada. Pertimbangannya, soal ongkos. Jika pemerintah memutuskan untuk mengambil opsi selain merehabilitasi jalur yang sudah ada, investasi proyek tersebut akan mencapai Rp 100 triliun. Investasi tersebut menurut pemerintah terlalu besar.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×