kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45935,51   7,16   0.77%
  • EMAS1.335.000 1,06%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Ini pertimbangan Jokowi tak lanjutkan rencana JSS


Sabtu, 01 November 2014 / 10:49 WIB
Ini pertimbangan Jokowi tak lanjutkan rencana JSS
Jaga Kesehatan Anak Saat Pandemi: Sejumlah anak menghadiri pemeriksaan di Posyandu Manggis, Pondok Cabe Udik, Tangerang Selatan, Selasa (11/10). KONTAN/Baihaki/10/11/2020


Sumber: Kompas.com | Editor: Hendra Gunawan

JAKARTA. Megaproyek Jembatan Selat Sunda yang menghubungkan Pulau Jawa dan Pulau Sumatera berpeluang tidak akan dilanjutkan pada masa pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla. Dua hal menjadi pertimbangan utama Presiden.

“Terus terang Pak Jokowi menyimak JSS itu. Beliau khawatir dampaknya pada dua hal,” tutur Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional, Andrinof Chaniago, Jumat (31/10) petang. Pertama, sebut dia, JSS dikhawatirkan bakal mematikan identitas Indonesia sebagai negara maritim.

Andrinof menjelaskan, Selat Sunda menjadi salah satu jalur penyeberangan terpadat, meski memang masih banyak kekurangan kinerja. “Kalau dimatikan dan malah tidak ditingkatkan kinerjanya, itu akan menghilangkan identitas Indonesia sebagai negara maritim,” kata dia.

Sebaiknya, lanjut Andrinof, pelayanan ataupun kinerja pelayaran di penyeberangan Selat Sunda diperbaiki, misalnya dengan menambah armada penyeberangan, dermaga, dan memperbaiki fasilitas pendukung lainnya.

Adapun pertimbangan kedua tak berlanjutnya pembangunan jembatan itu, adalah perihal ketimpangan. Menurut Andrinof, alangkah lucunya jika pemerintah yang berkoar-koar akan menekan ketimpangan, justru membuat megaproyek yang menambah ketimpangan.

“Katanya pemerataan, tapi kita bikin megapoyek yang membuat ekonomi terkonsentrasi di barat. Kita harus berhenti berfikir paradoks,” ucap Andrinof.

Selain dua pertimbangan tersebut, Andrinof juga menyebutkan yang juga disadari Presiden Jokowi adalah pemenuhan kebutuhan rumah rakyat yang masih nimin. Backlog atau ketimpangan antara permintaan rumah dan ketersediaan rumah itu setidaknya mencapai 15 juta rumah, dengan peningkatan lebih dari 1 juta rumah per tahun.

“Ini apa hubungannya dengan JSS? Adanya backlog itu karena konsesi penguasaan lahan. Penguasaan lahan oleh segelintir pengusaha membuat harga tanah tidak terjangkau. Jadi, ke depan harus jelas membangun itu untuk apa. Membangun untuk segelintir orang atau rakyat banyak?” papar Andrinof.  (Estu Suryowati)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×