Reporter: Yusuf Imam Santoso | Editor: Handoyo .
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Brawijaya (UB) Candra Fajri Ananda mengatakan pemerintah perlu melakukan ekstensifikasi cukai untuk mengendalikan konsumsi terhadap barang-barang yang sudah terbukti dapat mengganggu kesehatan masyarakat.
Candra mengatakan pemerintah seharusnya juga mengenakan cukai untuk minuman manis, agar dapat mengurangi tingkat obesitas dan maraknya penyakit degeneratif (diabetes dan hipertensi) di Indonesia.
“Sebenarnya cukai ini kan fungsinya mengontrol konsumsi dan penerimaan negara. Harusnya minuman manis juga dong, itu nggak sehat loh,” kata Candra dalam keterangan resmi yang diterima Kontan.co.id, Senin (4/11).
Baca Juga: Cuaca buruk, produk anggur global diperkirakan turun 10% di tahun 2019
Sejalan, Kepala Bidang Kepabeanan dan Cukai Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Nasruddin Djoko Surjono mengatakan pihaknya serta Kementerian dan Lembaga (K/L) terkait akan mengkaji lebih dalam soal ekstensifikasi cukai.
Djoko menegaskan, pengenaan cukai pada produk pangan yang berisiko tinggi terhadap kesehatan dan pengaturan produk makanan dirancang menyasar pada produk makanan dengan kandungan gula, garam, dan lemak.
“Sedang diproses, ini masuk dalam rencana teknokratik Rancangan Pembangunan Jangka Panjang dan Menengah (RPJMN) 2020-2024 dengan tema meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas dan berdaya saing,” kata Djoko.
Baca Juga: Kejar target, begini upaya Bea Cukai penuhi penerimaan cukai
Pemerintah secara spesifik juga membahas produk makanan dengan kandungan gula, garam, dan lemak. Begitu pun dengan skema penentuan tarif cukai.
Di berbagai negara, praktek ekstensifikasi cukai pada produk-produk yang perlu pengendalian konsumsi sudah dilakukan. Contohnya, Uni Emirat Arab, yang belum lama ini menetapkan tarif cukai sebesar 50% untuk makanan dan minuman berpemanis. Tarif tersebut akan berlaku mulai tahun 2020 nanti, rencananya bersamaan dengan cukai terhadap perangkat dan likuid rokok elektrik.
Sejak 2017, negeri padang pasir itu juga telah memberlakukan tarif cukai sebesar 50% untuk minuman berkarbonasi, serta tarif cukai 100% untuk minuman energi. Negeri tetangga Thailand, juga tengah menggodok perluasan tarif cukai untuk makanan ringan dan makanan instan yang mengandung natrium di atas 2.000 miligram (mg).
Baca Juga: Iuran BPJS Kesehatan Naik Dua Kali Lipat Jadi Kado Terburuk dari Pemerintahan Baru
Thailand sebelumnya telah mengenakan cukai pada makanan dan minuman manis pada 2017 dengan kenaikan tarif cukai secara bertahap dalam empat fase hingga Oktober 2023 mendatang.
Di Indonesia, perluasan pengenaan cukai berjalan lambat. Sesuai Undang-Undang 11 Tahun 1995 tentang Cukai sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007, saat ini Indonesia baru mengenal tiga jenis barang kena cukai secara umum, yaitu etil alkohol, minuman yang mengandung etil alkohol, dan hasil tembakau.
Di sisi lain, Chandra menambahkan pemerintah saat ini belum punya jalan keluar lain selain cukai tembakau dan minuman beralkohol. Menurutnya, kenaikan cukai rokok juga memicu rokok ilegal.
Baca Juga: Bea Cukai selamatkan kerugian negara Rp 5,8 miliar dari rokok dan HPTL ilegal
Dari sisi penerimaan, ia berpendapat harusnya yang dilakukan pemerintah saat ini adalah mengoptimalkan pemasukan pajak. Pasalnya, tahun lalu pendapatan dari pajak mencapai sekitar Rp 12 triliun. “Nah sekarang, setengahnya aja belum, padahal ini sudah mendekati akhir bulan,” katanya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News