kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45920,31   -15,20   -1.62%
  • EMAS1.345.000 0,75%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

DPR susun regulasi turunan UU MD3


Minggu, 18 Februari 2018 / 13:19 WIB
 DPR susun regulasi turunan UU MD3
ILUSTRASI. RAPAT PARIPURNA DPR


Reporter: Anggar Septiadi | Editor: Sanny Cicilia

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Alih-alih membatalkan revisi Undang-undang 7/2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3), DPR justru menyatakan segera menerbitkan regulasi turunan.

Regulasi ini kata Arsul Sani, anggota Komisi III DPR, untuk mengejawantahkan beberapa pasal revisi UU MD3 yang kerap jadi perdebatan publik.

Beberapa pasal tersebut antara lain, Pasal 73 ayat (3) yang menyatakan setiap orang yang tiga kali berturut-turut tanpa alasan sah dan patut tak memenuhi panggilan DPR, bisa dipaksa dengan bantuan kepolisian. Sementara polisi diperbolehkan melakukan penyanderaan bagi seseorang yang tak penuhi panggilan paling lama 30 hari.

Kemudian pasal 122 (k) dimana Mahkamah Kehormatan Dewan dapat mengambil langkah hukum dan atau langkah lain terhadap orang perseorangan, kelompok orang, atau badan hukum yang merendahkan kehormatan DPR dan anggota DPR. 

Adapula, Pasal 245 yang menyatakan, pemanggilan dan permintaan keterangan kepada anggota DPR sehubungan dengan terjadinya tindak pidana yang tidak sehubungan dengan pelaksanaan tugas harus mendapatkan persetujuan tertulis dari Presiden setelah mendapatkan pertimbangan dari Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD).

Kata Arsul, ketiga pasal ini yang utamanya akan diatur melalui regulasi turunan tersebut.

"Itu nanti di peraturan DPR, terpaksa harus di sana. Di sana itu nanti rambu-rambunya akan ditentukan," katanya kepada KONTAN seusai diskusi bertajuk Benarkah DPR Tak Mau Dikritik, Sabtu (17/2) di Jakarta.

Pertama regulasi turunan tersebut kata Arsul akan berupaya untuk meredefinisi terma kehormatan DPR. Menurutnya hal tersebut sangat abstrak, sehingga butuh dijelaskan terperinci.

Kedua, ihwal mekanisme pemanggilan. Katanya, hal tersebut bisa diatur melalui Peraturan Kapolri. Misalnya soal mekanismenya pemanggilan, siapa yang berhak dipanggil, jangka waktu pelaksanaan, dan tata laksana pemanggilan.

"Kecuali pasal-pasal tersebut dibatalkan oleh MK, baik DPR maupun Polri dalam enam bulan mendatang sejak UU MD3 disahkan harus membuat peraturan itu," jelasnya.

Sementara soal izin presiden soal syarat sebagai pemanggilan anggota DPR yang terkait kasus pidana, harus diberikan rekomendasi MKD sebelumnya. Arsul menegaskan bahwa hal tersebut bukan merupakan delay tactics atawa strategi memperlambat proses hukum.

"Agar tak dianggap memperlambat proses hukum, makanya DPR harus menjawab dalam waktu singkat. Mungkin nanti akan ditentukan Waktunya 30 hari kerja misalnya. Jika dalam waktu tersebut, tak ada putusan dari MKD, artinya sudah ada rekomendasi," paparnya.

Sekadar informasi, Senin (12/2) lalu DPR bersama pemerintah satu suara merevisi UU MD3. Mulanya, niat revisi hanya untuk menambah kursi Pimpinan DPR, namun, poin-poin tersebut berkembang hingga memunculkan beberapa pasal yang dinilai makin menguatkan posisi DPR.

Sementara secara total lebih kurang ada 23 pasal yang direvisi. Sedangkan soal penambahan ketentuan kursi pimpinan sekiranya hanya masuk dalam 3 pasal.

Beberapa hari disahkan, revisi UU MD3 sendiri langsung dibawa ke Mahkamah Konstitusi untuk diuji materi oleh Forum Kajian Hukum dan Konstitusi (FKHK).

Kuasa hukum pemohon gugatan tersebut Irman Putra Sidin mengatakan, niat menyusun regulasi turunan tersebut tak akan banyak berfaedah, lantaran sudah ada regulasi induk berupa UU MD3.

"Itu lain soal, UU sudah jadi, itu yang kemudian mengikat publik. Walaupun ada regulasi turunan tidak bisa demikian. UU yang ditetapkan," katanya dalam kesempatan yang sama.

Lagipula kata Irman, gugatannya ke MK terkait pasal-pasal 73 ayat (3), 122 (k), dan 245 pada dasarnya dinilai inkonstitusinal lantaran dinilai menambahkan fungsi baru kepada DPR di luar fungsi legislasi, pengawasan, dan penganggaran.

"Pasal-pasal tersebut menyangkut ketika DPR dapat melaksanakan fungsi hukum kepada warga negara, ini bertentangan dengan UU 1945," sambungnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×