Reporter: Agus Triyono | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
JAKARTA. Pemerintah akan menginventarisasi ulang aset-aset milik negara. Salah satu aset yang diinventarisasi ulang yakni tanah negara.
Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Ferry Mursyidan Baldan menjelaskan, invetarisasi ulang aset negara ini dilakukan lantaran banyak tanah milik negara yang kini dikuasai oleh masyarakat dan swasta. Ia mencontohkan, salah satu tanah negara yang kini dikuasai pihak lain adalah tanah milik Sekretariat Negara yang ada di Kemayoran, Jakarta Pusat.
Ferry bilang, awalnya, luas lahan milik negara yang dikelola Sekretariat Negara di Kemayoran 31 hektare (ha). Kini, hanya tersisa sekitar 14 ha. Sedangkan 17 ha lainnya kini sudah dikuasai oleh pihak lain. "Saya tidak tahu (sisa lahan yang hilang), apakah dipakai pengembang atau siapa," katanya, pekan lalu.
Berdasarkan data Kementerian Keuangan (Kemkeu) per November 2012, beberapa tanah negara yang dipakai oleh pihak swasta antara lain tanah yang kini digunakan sebagai pusat perbelanjaan Senayan City dan Hotel Sultan. Selain itu, berdasarkan hasil identifikasi Kemkeu, ada tanah negara seluas 1.500 ha dan 5.000 ha, masing-masing terletak di Radio Dalam dan Serpong yang lepas ke swasta. Lahan itu kini sudah menjadi perumahan dan lapangan golf.
Ferry bilang, Kementerian Agraria akan segera mengecek sertifikat hak guna usaha dan bangunan maupun penguasa lahan negara yang sudah dikuasai swasta. Selanjutnya, pemerintah akan menertibkan pemanfaatan lahan ini. "Kami harus lakukan karena ini menyangkut tanah negara. Kasus di Kemayoran, sesuai dengan kompleksitas masalahnya, akan kami jadikan contoh penanganan tanah aset negara," katanya.
Ketua Asosiasi Pengembang Perumahan Seluruh Indonesia (Apersi) Eddy Ganefo bilang Apersi mendukung upaya inventarisasi ulang tanah yang merupakan aset negara. Bahkan, Eddy berharap pemerintah tak hanya menginventarisasi tanah aset negara tapi juga memperluas objek inventarisasi lahan terlantar, khususnya lahan yang dikuasai pengembang tapi tidak digunakan untuk membangun.
Sebab, "Banyak pengembang menguasai lahan ribuan hektare tapi mereka tidak membangun dan menunggu harga naik berlipat-lipat sehingga pengembang lain tidak bisa memanfaatkan lahan," katanya, kemarin.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News