kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45919,20   -16,32   -1.74%
  • EMAS1.345.000 0,75%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

3 tahun Jokowi-JK, Gerindra sayangkan demokrasi


Jumat, 20 Oktober 2017 / 14:01 WIB
3 tahun Jokowi-JK, Gerindra sayangkan demokrasi


Sumber: Kompas.com | Editor: Sanny Cicilia

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Ketua DPP Partai Gerindra Ahmad Riza Patria menilai, terjadi penurunan dalam capaian di bidang demokrasi selama tiga tahun pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla.

Hal itu, menurut dia, ditandai dua hal, yakni pemberlakuan syarat ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold dan penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) No. 2 Tahun 2017 tentang Ormas.

Presidential threshold dalam UU Pemilu adalah 20 persen jumlah kursi DPR atau 25% dari suara sah nasional.

Adapun Perppu Ormas diterbitkan untuk memudahkan pembubaran ormas yang dianggap anti-Pancasila.

"Kalau dari aspek demokrasi, menurut kami luar biasa. Menurut kami ini catatan merah ya. Konstitusi pemilu, misalnya, pemerintah memaksakan presidential threshold 20 persen. Tambah lagi sekarang Perppu Ormas, lebih mundur karena ini seperti arogansi kekuasaan," kata Riza di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat (20/10).

Riza mengatakan, pemberlakuan presidential threshold pada pemilu 2019 tidak relevan karena menggunakan hasil pemilihan legislatif 2014.

Menurut dia, konteks kekuatan politik di pemilu 2014 berbeda dengan pemilu 2019.

Ia menilai, dalam pemilu selanjutnya semestinya setiap warga negara berhak mencalonkan diri sebagai capres-cawapres. Sebab itu presidential threshold semestinya dihapus.

Selain itu, terkait Perppu Ormas, ia menilai aturan tersebut sebagai penentangan terhadap prinsip demokrasi dan negara hukum.

Hal itu, kata dia, ditunjukan dengan memangkas proses pengadilan dalam mekanisme pembubaran ormas.

Hal itu, tutur Riza, sekaligus mengukuhkan pemerintah menjadi penafsir tunggal Pancasila.

"Bahkan hanya dengan kementerian saja dapat menafsirkan orang itu Pancasila atau tidak, bahkan bisa dihukum. Ini berlebihan," lanjut dia. (Rakhmat Nur Hakim)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×