Reporter: Siti Masitoh | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Bank Dunia memandang inflasi Indonesia masih akan dibayangi dengan kenaikan harga pangan dan energi, meski diprediksi masih dalam target sasaran Bank Indonesia (BI) 2,5% plus minus 1% pada tahun ini dan 2025 mendatang.
Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira Adhinegara menilai, inflasi domestik saat ini masih bisa terjaga dikisaran 3% karena pemerintah masih menahan kenaikan harga subsidi energi, seperti BBM, LPG 3kg dan listrik.
Akan tetapi, dengan kondisi tekanan fiskal dan pelemahan nilai tukar, Ia memprediksi inflasi dari sisi inflasi administered prices (harga diatur pemerintah) bisa naik pada akhir 2024 atau 2025.
Baca Juga: Inflasi Indonesia Akan Menghadapi Tekanan Harga Pangan dan Energi Global
“Ini menjadi kekhawatiran karena inflasi secara umum akan terdorong lebih tinggi lagi, bahkan bisa dikisaran 4%-4,5% year on year (yoy), apabila pemerintah melakukan penyesuaian terhadap administered price,” tutur Bhima kepada Kontan, Selasa (25/6).
Untuk itu, Bhima menyampaikan, inflasi pangan memang harus menjadi perhatian penting pemerintah. Di samping itu, mengacu data terakhir, inflasi volatile food juga tercatat masih tinggi yakni sebesar 8,14% yoy pada Mei 2024.
Sehingga yang perlu dilakukan pemerintah untuk menjaga kestabilan harga pangan harus dimulai dari hilir hingga ke hulunya. Misalnya dengan terus menjaga, memperbaiki, tata kelola pertanian, tata niaga pertanian, bantuan untuk subsidi pupuk diperbesar, pembiayaan kredit yang lebih murah kepada para petani, perbaikan sistem resi gudang, sampai dengan mengendalikan impor makanan.
“Sehingga jika pelemahan nilai tukar terjadi, tidak mengakibatkan inflasi impor di sisi bahan makanan,” ungkapnya.
Baca Juga: BI Diperkirakan akan Menahan BI Rate di Level 6,25% Pada RDG Juni Ini
Lebih lanjut, Bhima menilai, meskipun Bank Dunia memperkirakan inflasi domestik bisa terkelola dengan baik dalam target sasaran BI, hanya saja kekhawatirannya saat ini adalah pelemahan nilai tukar rupiah belum terasa dampaknya dalam inflasi karena harga diatur pemerintah masih dijaga.
Di samping itu, para importir juga masih menghabiskan barang di gudang terlebih dahulu.
Akan tetapi, Bhima menambahkan, jika barang lama sudah habis, dan barang baru datang dengan harga kurs yang baru, maka harga barang tersebut akan meningkat dan diteruskan ke konsumen ritel akhir.
“Di situlah 1 sampai 3 bulan efek dari melemahnya kurs kepada inflasi terutama bahan pangan yang naik itu bisa lebih tinggi lagi,” imbuhnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News