kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45919,20   -16,32   -1.74%
  • EMAS1.345.000 0,75%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

UU Cipta Kerja disebut konsekuensi logis dari gerakan reformasi birokrasi


Rabu, 09 Desember 2020 / 10:00 WIB
UU Cipta Kerja disebut konsekuensi logis dari gerakan reformasi birokrasi


Reporter: Yudho Winarto | Editor: Yudho Winarto

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Peneliti Kebijakan Publik dari Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) Saidiman Ahmad menilai, semangat reformasi birokrasi dalam Undang-Undang No. 11/2020 tentang Cipta Kerja sebagai konsekuensi logis dari gerakan reformasi birokrasi yang selama ini dilakukan di Indonesia.

“UU Cipta Kerja itu sebetulnya konsekuensi logis dari perubahan-perubahan atau gerakan reformasi di Indonesia. Saya melihat, UU ini bagian dari serangkain perubahan-perubahan yang sudah dilakukan terkait reformasi birokrasi,” kata Saidiman dalam diskusi daring bertajuk Reformasi Birokrasi 4.0: Peluang dan Tantangan Implementasi UU no. 11/2020 tentang Cipta Kerja yang digelar oleh Institut Demokrasi dan Kesejahteraan Sosial (Indeks) pekan lalu.

Gerakan reformasi birokrasi, kata Saidiman, bukan baru dilakukan kala pemerintahan Jokowi. Tetapi itu sudah diupayakan sejak era reformasi. Gerakan reformasi birokrasi bahkan terjadi di seluruh belahan dunia sedari dulu untuk menuntut perubahan birokrasi lama yang tidak efisien dan lama.

“Birokrasi lama ini dianggap tidak efektif. Sesuatu yang seharusnya bisa cepat diperlambat. Sesuatu yang harusnya bisa diurus sehari, itu bisa berbulan-bulan,” beber Alumnus Crawford School of Public Policy, Australian National University itu.

Baca Juga: Kemenag ungkap kemudahan pelaku usaha umrah dan haji khusus dengan UU Cipta Kerja

Saidiman menjelaskan, di dunia pada 1980-1990-an ada gerakan reformasi birokrasi yang disebut New Public Management, yang menuntut perubahan sistem birokrasi yang berorientasi output dan menerapkan manajerial ala perusahaan swasta pada birokrasi pemerintahan.

Namun gerakan ini, lanjutnya, dianggap kurang memadai sehingga dikoreksi oleh gerakan reformasi birokrasi baru yang tuntutannya adalah birokrasi pemerintahan yang lebih efektif, transparan dan efisien dalam memberikan pelayanan dalam konteks tata kelola pemerintahan yang baik (good governance).

“Intinya, gerakan ini menuntut negara lebih efektif, ramping dan saat yang sama bisa memberikan pelayanan yang maksimal kepada publik,” terangnya.




TERBARU

[X]
×