Reporter: Lidya Yuniartha | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Tahun ini total defisit Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan diperkirakan akan mencapai Rp 28 triliun. Untuk itu pemerintah memutuskan untuk mengkaji ulang besaran tarif iuran program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
Koordinator Advokasi BPJS Watch TImboel Siregar menilai, menaikkan iuran memang menjadi salah satu cara untuk menekan defisit BPJS Kesehatan. Namun menurutnya, cara ini bukan satu-satunya.
Baca Juga: YLKI: Kenaikan iuran BPJS Kesehatan bisa memperbesar tunggakan peserta mandiri
"Jadi ini semua harus dilakukan tak hanya sekedar menaikkan iuran, karena faktor defisit itu disebabkan oleh berbagai pihak," tutur Timboel, Rabu (31/7).
Menurut Timboel, beberapa faktor yang menyebabkan BPJS Kesehatan mengalami defisit kesehatan antara lain iuran yang belum naik, penerimaan yang memang diproyeksi masih lebih kecil dibandingkan pembiayaan, adanya fraud oknum rumah sakit, rujukan dari FKTP masih tinggi dan pajak rokok belum maksimal didukung Pemda.
Terkait iuran, Timboel menyebut iuran BPJS memang belum mengalami kenaikan sejak 2016. Padahal sesuai aturan, iuran BPJS Kesehatan seharusnya dinaikkan setiap 2 tahun.
Sesuai dengan hitungan aktuaria, seharusnya iuran BPJS untuk kategori penerima bantuan iuran (PBI) sebesar Rp 36.000 per peserta per bulan. Namun, saat ini iuran yang dikenakan hanya Rp 23.000 per peserta per bulan.
Baca Juga: Kemenkeu minta BPJS Kesehatan tuntaskan rekomendasi BPKP
Timboel berpendapat, bila iuran dinaikkan, APBN masih akan terbebani menanggung biaya ini. Karena itu, dia pun mengusulkan agar iuran untuk PBI dinaikkan Rp 7.000 per peserta menjadi Rp 30.000 per peserta per bulan.
"Kalau naik Rp 7.000 per, dia akan berimbas pada Jamkesda. Kalau dikalikan bisa berpotensi menambah iuran Rp 11 triliun, " ujar Timboel.