kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.520.000   12.000   0,80%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Untuk dapatkan hak akses verifikasi data kependudukan, fintech wajib berizin OJK


Minggu, 14 Juni 2020 / 20:22 WIB
Untuk dapatkan hak akses verifikasi data kependudukan, fintech wajib berizin OJK
ILUSTRASI. ilustrasi fintech. /2017/01/04


Reporter: Ratih Waseso | Editor: Handoyo .

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri (Dirjen Dukcapil Kemendagri) Zudan Arif Fakrulloh menerangkan bahwa fintech wajib berijin dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

Zudan menjelaskan, persyaratan dan tata cara untuk bisa mendapatkan hak akses verifikasi data kependudukan secara lebih teknis diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 102 Tahun 2019 tentang Pemberian Hak Akses dan Pemanfaatan Data Kependudukan.

Baca Juga: Kemendagri berikan akses data kependudukan ke Pinjol untuk cegah kejahatan

Salah satu persyaratan yang harus dipenuhi adalah surat keterangan ijin usaha dan adanya rekomendasi tertulis dari otoritas pembinaan dan pengawasan kegiatan usaha bagi badan hukum Indonesia.

Ketiga perusahaan fintech peer-to-peer lending yang mendapatkan hak akses verifikasi data kependudukan, yang sebelumnya meneken perjanjian kerjasama dengan Kemendagri, dijelaskan Zudan telah mendapatkan izin untuk beroperasi beserta rekomendasi tertulis dari lembaga negara yang berwenang yaitu Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

"Apabila belum memiliki izin dari OJK maka tidak akan diberikan kerjasama," kata Zudan saat dihubungi Kontan.co.id pada Minggu (14/6).

Selain itu Zudan menegaskan setiap perusahaan yang bekerjasama wajib menjaga kerahasiaan data kependudukan.

Baca Juga: Setelah Malaysia, Alami Fintek bidik pemberi pinjaman dari Timur Tengah hingga Jepang

"Dalam setiap perjanjian kerjasama selalu dituangkan kewajiban untuk menjamin kerahasiaan, keutuhan dan kebenaran data serta tidak dilakukannya penyimpanan data kependudukan. Menteri Dalam Negeri sudah mewanti wanti agar seluruh Lembaga pengguna selain mematuhi semua peraturan perundang-undangan (rule of law) juga harus mematuhi ketentuan yang terkait dengan hak privacy atau hak privat masyarakat terkait dengan perlindungan rahasia data pribadi," tegas Zudan.

Kembali Zudan menegaskan bahwa Kemendagri tidak memberikan data kependudukan kepada lembaga pengguna. Kemendagri hanya memberikan hak akses untuk verifikasi data. Ia menjelaskan hak akses verifikasi data yang diberikan kepada ketiga perusahaan tersebut tidak memungkinkan ketiganya untuk dapat melihat secara keseluruhan ataupun satu persatu data penduduk.

Namun hak akses ini hanya memungkinkan untuk dilakukannya verifikasi kesesuaian atau ketidaksesuaian antara data-data yang diberikan seorang penduduk yang akan menjadi calon nasabah fintech dengan data yang ada pada database kependudukan.

Zudan memberikan ilustrasi, apabila seorang penduduk bernama Budi ingin melakukan pinjaman online di salah satu dari ketiga perusahaan fintech, maka Budi memberikan data dirinya berupa NIK, Nama, Tempat Lahir dan Tanggal/Bulan/Tahun lahir dan sebagainya yang disyaratkan oleh perusahaan tersebut kepada salah satu perusahaan melalui aplikasi pinjaman online.

Baca Juga: YLKI nilai pemberian akses data dukcapil ke Pinjol sudah kelewat batas

Nah dari data diri yang telah diberikan Budi tersebut Zudan menjelaskan, kemudian dilakukan verifikasi oleh perusahaan dengan database kependudukan Kemendagri. Dari proses verifikasi dengan data Kemendagri tersebut, kemudian perusahaan aplikasi pinjaman online mendapatkan respon berupa notifikasi “SESUAI” atau ”TIDAK SESUAI”.

Kemendagri pun selalu melakukan langkah-langkah pengamanan sistem dengan standar terukur, guna memastikan bahwa hak akses verifikasi data selalu berada dalam koridor hukum. "Terhadap pelanggaran atas penyalahgunaan data kependudukan dikenakan pidana penjara selama 2 tahun sebagaimana diatur dalam Pasal 95A UU No.24 Tahun 2013," jelas Zudan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×