Reporter: Rahma Anjaeni | Editor: Herlina Kartika Dewi
Adapun risiko lain yang perlu menjadi pertimbangan pemerintah adalah fluktuasi kurs dan arah suku bunga. Bhima menilai, pemerintah cukup gencar menawarkan utang dengan imbal hasil (yield) yang tinggi.
Hal ini kemudian berakibat pada swasta yang juga ingin menerbitkan obligasi (bond) valas dan meningkatkan suku bunganya. Alhasil, perebutan dana yang ketat akan membuat beban pembayaran bunga swasta menjadi lebih mahal.
"Pemerintah makin gencar terbitkan ULN untuk tutup defisit. Apalagi kebutuhan pembiayaan tembus di atas Rp 1.000 triliun di 2020. Pada semester II, proyeksi ULN pemerintah akan tumbuh lebih tinggi. Situasinya akan sama, kenaikan ULN masih didorong oleh penambahan utang pemerintah yang baru," papar Bhima.
Kemudian, BI juga mencatat rasio ULN Indonesia terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) pada akhir April 2020 sebesar 36,5%. Rasio ini naik tipis apabila dibandingkan dengan rasio pada bulan sebelumnya yang sebesar 34,6%.
Baca Juga: Utang lembaga keuangan terkontraksi, tren perlambatan ULN swasta berlanjut pada April
Berdasarkan keadaan seperti saat ini, maka Bhima memprediksi rasio utang terhadap PDB bisa meningkat sebesar 40%-45%, karena PDB akan terkontraksi hingga negatif.
Meski diprediksi akan meningkat, tetapi rasio utang pemerintah masih aman apabila mengacu pada Undang-Undang (UU) Keuangan Negara yang membatasi defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebesar 3% dari rasio PDB, serta batas maksimal rasio utang sebesar 60% terhadap PDB.
Namun demikian, pemerintah juga tetap perlu mencermati risiko peningkatan rasio ini. Bhima menjelaskan, meningkatnya rasio ULN terhadap PDB akan menimbulkan risiko default atau peningkatan potensi gagal bayar ULN swasta.
"Ini yang perlu diwaspadai dan rate bunga yang dibayar bisa lebih mahal untuk mencari pembiayaan utang baru. Efeknya juga akan terasa ke pelemahan kurs dalam jangka panjang," kata Bhima.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News