kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45920,31   -15,20   -1.62%
  • EMAS1.345.000 0,75%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Transformasi pendidikan tinggi Vokasi didorong untuk mencetak pengusaha baru


Jumat, 03 September 2021 / 22:15 WIB
Transformasi pendidikan tinggi Vokasi didorong untuk mencetak pengusaha baru


Reporter: Tendi Mahadi | Editor: Tendi Mahadi

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Jumlah wirausahawan di Indonesia masih lebih rendah dibandingkan negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura. Oleh karena itu, pemerintah melalui Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) terus mendorong para insan vokasi untuk mengembangkan kewirausahaan.  

Selama ini kewirausahaan telah menjadi tipikal dari kegiatan pembelajaran di seluruh perguruan tinggi di Indonesia. Materi pembelajaran kewirausahaan hadir di semua kurikulum di Indonesia sejak belasan tahun lalu, namun jumlah wirausahawan di Indonesia masih kurang dibandingkan dengan negara tetangga. 

“Jumlah wirausahawan Singapura mungkin sudah di atas 10%, kita masih di angka 3%,” ujar Direktur Jenderal Pendidikan Vokasi Kemendikbudristek Wikan Sakarinto dalam webinar Menuju Entrepreneurial University, Mencetak Lulusan Siap Berwirausaha yang diselenggarakan Direktorat Mitras DUDI, Jumat (3/9).

Menurut Wikan sebaiknya insan vokasi jangan terlena oleh mata kuliah kewirausahaan hingga pusat inkubasi bisnis yang telah ada di setiap perguruan tinggi. Wikan mengatakan transformasi sangat dibutuhkan untuk menciptakan 4.000.000 pengusaha baru, sebagai syarat Indonesia untuk benar-benar menjadi lima besar PDB terbesar di dunia. 

Baca Juga: Pemerintah akan kenakan PPN untuk jasa pendidikan, begini kata pengamat

"Lakukan perubahan atau transformasi setelah ikut seminar ini. Jangan berhenti pada euforia atau mungkin kesadaran sejenak, tetapi nanti lupa bertransformasi, nanti lupa mengeksekusi," tegas Wikan.

Wikan mengatakan dalam pengajaran nilai kewirausahaan, sering kali insan vokasi langsung membuat purwarupa atau prototype. Insan vokasi membuat produk, tapi belum memastikan pembelinya. Insan vokasi seharusnya terlebih dahulu melakukan riset pasar, yakni pihak pembelinya, jumlah yang dibeli, harga, hingga durasi produk berada di pasar kalau nanti laku. 

Wikan mengungkapkan saat ini telah banyak sekolah menengah kejuruan maupun perguruan tinggi yang telah membuat berbagai mesin hingga kendaraan listrik, namun masih terganjal dalam aspek penjualan. Menurut Wikan harus ada pembenahan urutan dalam pengembangan kewirausahaan di perguruan tinggi. 

Toronata Tambun, founder Aren Energy Investment, mengungkapkan ada perguruan tinggi di Amerika Serikat yang 73% lulusannya sukses menjadi wirausahawan atau entrepreneur. Kesuksesan mereka terlihat dari keberhasilan mempertahankan usahanya hingga tahun kelima. Sebanyak 90% perusahaan yang dipimpin oleh perempuan dari lulusan perguruan tinggi ini juga sukses hingga tahun kelima. 

Toronata mengungkapkan terdapat 90% startup yang gagal di dunia, sedangkan 75% startup yang dimodali oleh venture capital juga gagal. Kurang dari 50% startup yang sampai tahun kelima. Bahkan, kata Toronata, hanya sepertiga dari startup tersebut yang sampai tahun ke-10. "Dan yang paling menyedihkan hanya kurang dari 40% yang actually punya profit. Selebihnya hanya bakar uang melulu, tidak sampai selesai terus-terusan bakar uang," tutur Toronata. 

Baca Juga: DPR soroti rencana pemerintah untuk kenakan PPN 7% terhadap jasa pendidikan

Toronata mengungkapkan 82% bisnis yang gagal biasanya disebabkan oleh masalah cash flow. Perusahaan yang paling banyak gagal justru di industri digital. "Opportunity based entrepreneur, jadi orang yang didesain oleh politeknik, sekolah vokasi," kata Toronata. 

Koordinator Pengembangan Produk dan Jasa Badan Pengelola Usaha Polman Bandung Otto Purnawarman menekankan pentingnya penanaman entrepreneurial behaviour. Menurutnya, perguruan tinggi dalam menjalankan program kewirausahaan talent-nya bisa dipilih. Otto menjelaskan bahwa Polman Bandung menerapkan Production Base Education (PBE), yang terdiri dari kurikulum, teori, dan praktik. 

"Teorinya terstruktur, maka praktiknya ini harus produk yang dijual di pasar, tapi bisa diatur oleh kurikulum. Polman sampai sekarang membuat model integrasi soal ini," ungkap Otto. 

Selanjutnya: Perkuat literasi syariah, BSI gelar kuliah terbuka bersama Universitas Padjajaran

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×