kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.520.000   12.000   0,80%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Transfer teknologi, program klasik yang gagal


Sabtu, 28 Juni 2014 / 15:42 WIB
Transfer teknologi, program klasik yang gagal
Pedagang menata bahan makanan yang dijual di Pasar Senen, Jakarta, Selasa (7/6/2022). KONTAN/Fransiskus Simbolon


Reporter: Noverius Laoli | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie

JAKARTA. Program pasangan calon presiden dan calon wakil presiden Prabowo Subianto-Hatta Rajasa untuk mendatangkan investor asing, khususnya untuk mentransfer teknologi, dinilai bukan sesuatu yang baru. Menurut pengamat, program ini sudah klasik namun selalu gagal direalisasikan. Soalnya, pemerintah tidak paham apa yang benar-benar dibutuhkan masyarakat untuk mendongkrak perekonomian.

Ekonom Bank Central Asia (BCA) David Sumual, mengatakan program transfer teknologi itu memang penting mendorong pertumbuhan industri dalam negeri. Namun dalam kenyataannya, Indonesia belum siap dan mampu menjalankannya. Soalnya, transfer teknologi itu membutuhkan keahlian Sumber Daya Manusia (SDM) yang mumpuni dan modal yang besar. "Terkadang kita kurang siap menyiapkan dana besar untuk menopang transfer teknologi," ujarnya, Kamis (26/6).

Ia mengatakan Prabowo-Hatta tidak bisa langsung mencari investasi asing masuk ke Indonesia tanpa pemanis. Bisa itu berupa insentif dan pembangunan infrastruktur yang baik. Selain itu, masalah yang paling klasik adalah sulitnya perizinan dan tumpang tindihnya peraturan baik di pusat maupun daerah. "Investor juga butuh kepastian hukum yang menjadi kelemahan Indonesia selama ini di mata investor asing," tandasnya.

Di sisi lain, Indonesia belum siap memproduksi dan menyuplai bahan baku yang dibutuhkan industri. Hal itu terlihat, di mana sekitar 80% bahan baku masih diimpor. Tentu saja, investor asing akan pikir-pikir dua kali untuk masuk ke Indonesia bila bahan baku yang mereka butuhkan masih saja diimpor dari negara lain yang membutuhkan biaya mahal.

Sementara itu, menurut Pengamat ekonomi dari Universitas Ma Chung Dodi Arifianto, mendatangkan investasi asing tidaklah mudah saat ini. Indonesia harus terlebih dahulu berbenah dari berbagai segi khususnya infrastruktur dan perizinan. Selain itu, Indonesia tidak bisa serta merta ingin menguasai semua teknologi tanpa bisa memberikan hasil yang menguntungkan. "Kalau mau transfer teknologi itu harus yang bermanfaat pada ekonomi dan tidak bisa asal-asalan," ujarnya.

Ia mengambil contoh pembangunan industri pesawat terbang yang sampai saat ini tidak berkembang lantaran produknya tidak begitu diminati negara lain dan kalah dibandingkan buatan negara maju. Dodi justru menyarankan bila hendak mendatangkan investasi asing, yang dibutuhkan adalah industri produsen komponen-komponen atau bahan baku yang selama ini masih didominasi impor. Ia mengambil contoh bisa berupa invetasi asing untuk pembuatan alat-alat elektronik, seperti pare part mobil dan motor.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×