Reporter: Umar Idris, Anastasia Lilin Y, Andri Indradie, Lamgiat Siringoringo, Mimi Silvia | Editor: Imanuel Alexander
Jakarta. Pemerintah terus mendapat sorotan karena belum mampu menstabilkan harga kebutuhan pokok nasional. Komoditas yang menjadi perhatian masyarakat selama dua pekan belakangan ialah kedelai. Sebelumnya, harga daging sapi, cabai, dan bawang merah banyak dikeluhkan oleh masyarakat karena harganya yang kelewat tinggi, di atas kemampuan masyarakat.
Berdasarkan data dari Kementerian Perdagangan (Kemendag), pekan lalu (9/9), harga kedelai impor masih Rp 10.305 per kilogram (kg), sedang banderol kedelai lokal Rp 10.665 per kg. Harga itu jauh di atas harga patokan kedelai versi Menteri Perdagangan (Mendag) Gita Wirjawan, yaitu Rp 8.490 per kg.
Harga daging sapi juga masih anteng di atas Rp 90.000 per kilogram. Harga daging sapi hanya turun Rp 1.000 selama sepekan. Per 2 September, harganya Rp 93.000 per kg, lalu turun sedikit menjadi Rp 92.000 per kg pada pekan lalu (9/9). Harga yang berlaku di pasar itu, lagilagi, melampaui harga tertinggi yang ditetapkan Mendag, yaitu Rp 76.000 per kg. Ketetapan harga tertinggi tersebut berlaku untuk daging sapi yang telah dipotong (secondary cut).
Sedangkan harga patokan untuk komoditi cabai dan bawang merah segar, belum dikeluarkan oleh pemerintah. Di pasar, harga bawang merah memang sudah beringsut turun. Data yang dikumpulkan Kemendag sepanjang pekan lalu (9/9), harga bawang merah berada di kisaran Rp 36.000 per kg, turun dari rata-rata harga di pekan sebelumnya (2/9), yaitu Rp 45.000 per kg.
Sedangkan harga cabe merah biasa Rp 29.000 per kg, turun sedikit dari Rp 30.000 per kg. “Untuk bawang dan cabe kami akan tetapkan secepatnya karena ditunggu oleh masyarakat,” kata Dirjen Perdagangan Luar Negeri, Bachrul Chairi.
Sekadar mengingatkan, pemerintah kini memiliki tiga peraturan untuk meredam kenaikan harga komoditas. Pertama, untuk meredam belitan harga kedelai, pada 9 September 2013 pemerintah mengeluarkan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 49 Tahun 2013 tentang harga jual kedelai kepada pengrajin tahu dan tempe.
Kedua, beleid terbaru yang mengatur harga daging sapi, pemerintah mengatur melalui Permendag Nomor 46 Tahun 2013 tentang impor dan ekspor hewan dan produk hewan, yang terbit pada 30 Agustus 2013. Nah, peraturan ketiga adalah Permendag Nomor 47 Tahun 2013 tentang Impor produk hortikultura. Ketiga peraturan tersebut, niatnya, bertujuan menstabilkan harga barang-barang kebutuhan pokok.
Referensi merugikan
Ketiga peraturan ini pada intinya menetapkan harga referensi yang menjadi acuan importir, pemerintah dan konsumen. Harga tersebut ditetapkan oleh tim pemantau harga yang ditunjuk Mendag. Harga referensi ini berlaku untuk komoditi kedelai, cabai, bawang merah dan daging sapi.
Jika harga komoditas di pasar lebih rendah daripada harga referensi, pemerintah akan menunda pemberian izin impor. Sebaliknya, jika harga empat komoditas tersebut telah melampaui harga referensi, pemerintah akan mengeluarkan keran impor dengan menerbitkan izin impor ke para importir swasta, koperasi, dan BUMN.
Ketentuan lain, pemerintah mewajibkan para importir merealisasikan impornya minimal 80% dari total impor yang telah disetujui oleh pemerintah. Nah, kini setiap izin impor yang diberikan hanya berlaku selama tiga bulan untuk produk hortikultura dan daging sapi. Sedangkan izin impor kedelai berlaku selama enam bulan.
Jadi selama izin tersebut berlaku, importir harus bisa mengimpor minimal 80% dari total impor yang disetujui oleh pemerintah. Jika kurang dari 80%, pemerintah mengancam akan membekukan atau mencabut izin sebagai Importir Terdaftar sehingga perusahaan itu tidak dapat melakukan impor lagi.
Sayangnya, ketiga peraturan tersebut belum cukup ampuh untuk menstabilkan harga di pasar. Lihat saja harga daging sapi, harga kedelai, dan harga bawang merah serta cabai yang masih tinggi.
Penetapan harga referensi dianggap sekadar aturan belaka karena para pelaku usaha tidak menjadikannya sebagai acuan. Bahkan, harga referensi ini dapat menjadi bumerang bagi para peternak sapi lokal.
Para peternak sapi lokal menilai, kebijakan itu tidak bijaksana. Alasan mereka, harga referensi cuma menguntungkan para importir daging beku. Harga sapi hidup yang telah terbentuk di sentra produsen peternak seperti di Jawa Tengah dan Jawa Timur saat ini sekitar Rp 34.000 per kg Rp 35.000 per kg. Itu kisaran harga daging untuk sapi yang masih hidup. “Dengan begitu, harga daging sapi yang telah dipotong (secondary cuts) tidak akan kurang dari Rp 85.000 per kilogram,” kata Teguh Boediyana, Ketua Umum DPP Perhimpunan Peternak Sapi dan Kerbau Indonesia (PPSKI).
Dengan ketetapan harga daging sapi maksimum sebesar Rp 76.000 per kg, para peternak sapi lokal tidak bisa menyesuaikan harga. Jika harga jualnya disesuaikan dengan harga tersebut, para peternak sapi lokal akan gulung tikar.
Teguh mencurigai, kebijakan Pemerintah yang menetapkan harga referensi daging sapi sebesar Rp 76.000 per kg justru akan membuka keran impor daging beku besar-besaran dan mengabaikan kepentingan peternak sapi lokal. “Kami berharap pemerintah segera meninjau ulang harga referensi tersebut,” kata Teguh.
Sanksi tak tegas
Ketiga beleid tersebut juga tidak efektif karena pemerintah tidak dapat menekan para importir untuk menekan harga jualnya di pasar. Antara lain dengan memberikan sanksi yang tegas kepada importir dan jaringannya yang menjual di atas harga referensi. “Sanksinya tidak tegas,” kata Khudori, pengamat pertanian.
Khusus mengenai harga referensi daging sapi sebesar Rp 76.000 per kg, Khudori menilai, harga itu membingungkan konsumen, peternak dan importir. Sebab pemerintah tidak memberikan keterangan yang spesifik tentang harga tersebut. “Di lapangan ada 54 jenis daging sapi, harga referensi itu mengacu ke daging sapi yang mana?” tutur Khudori.
Celah lain adalah, penjualan setiap komoditi masih sepenuhnya diserahkan ke importir dan jaringan distribusinya. Pemerintah tidak dapat melakukan intervensi langsung ke importir yang memasang harga di atas harga referensi.
Bentuk intervensi yang seharusnya dilakukan pemerintah dalam mengendalikan harga daging adalah memberikan subsidi harga. Sayangnya pemerintah tidak menyiapkan mekanisme subsidi, agar harga daging terkendali. “Jadi apa bentuk intervensi pemerintah yang langsung ke lapangan? Tidak ada,” tutur Khudori.
Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Pemberdayaan Daerah dan Bulog, Natsir Mansyur, menilai, kebijakan pangan oleh menteri perdagangan dan menteri pertanian masih kurang konsisten karena pemerintah dipengaruhi oleh pelaku kartel pangan. Jika pemerintah tidak bermain di dua kaki, pemerintah bisa bersikap tegas. “Kalau perlu ada Perpres Bulog tunggal tangani enam komoditas pangan strategis: daging sapi, daging ayam, gula, kedelai, jagung dan beras,” kata Natsir.
Para pelaku kartel, tutur Natsir, begitu leluasa menjadikan harga pangan strategis Indonesia sebagai mainan. “Ini akibat manajemen pangan nasional sangat lemah dari aspek produksi, distribusi dan perdagangan,” tutur Natsir.
Institute for Development of Economic and Finance (INDEF) juga menyatakan kebijakan Mendag Gita tidak efektif. “Tiga peraturan itu hanya kebijakan jangka pendek,” kata Direktur Indef, Enny Sri Hartati.
Indef menilai, melonjaknya harga kedelai dan beberapa komoditas lainnya di Indonesia tidak dipengaruhi oleh kekuatan permintaan dan penawaran yang riil. Ia mencontohkan, harga kedelai di pasar internasional sejak bulan Agustus 2013 masih stabil. “Harga dari Juli ke Agustus 2013 malah mengalami penurunan dari US$ 577,40 per ton menjadi US$ 523,63 per ton,” kata dia.
Enny menilai, fluktuasi harga kedelai di pasar dalam negeri lebih disebabkan oleh tata niaga kedelai yang kacau. Penurunan nilai tukar rupiah terhadap dollar AS turut mempengaruhi harga jual kedelai di dalam negeri. Maklumlah, 75% dari kebutuhan kedelai di dalam negeri dipenuhi oleh komoditas impor. Kondisi ini diperparah oleh tata niaga kedelai sebelumnya, yang meminggirkan peran Bulog dalam sistem kuota impor.
Indef mencatat, kuota impor kedelai sebesar 299.100 ton berada di tangan tiga perusahaan saja. Kuota sebesar itu setara 66% dari total alokasi impor kedelai. Dengan penguasaan kuota impor hingga lebih dari 50% , maka ketiga perusahaan itu memegang kendali harga di pasar. ”Seharusnya negara yang mengontrol,” ujar Enny.
Satu cara yang bisa diperbaiki adalah mengembalikan Bulog sebagai penyangga pangan sebagaimana diterapkan oleh Malaysia, Jepang hingga Amerika Serikat. “Mereka tidak melakukan liberalisasi pangan karena ketahanan sektor pangan penting untuk hajat hidup orang banyak,” tutur Enny.
Seharusnya, pemerintah tidak cuma membuat aturan main dalam jangka pendek, tetapi juga merancang rencana jangka panjang.
***Sumber : KONTAN MINGGUAN 50 - XVII, 2013 Laporan Utama
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News