Reporter: Sinar Putri S.Utami | Editor: Adi Wikanto
Jakarta. Sejumlah pengemudi angkutan umum berbasis aplikasi online menggugat Presiden Republik Indonesia, Menteri Perhubungan, dan Menteri Komunikasi dan Informatika di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Gugatan ini terkait kelalaian pemerintah yang belum menerbitkan regulasi soal angkutan umum berbasis online.
Setidaknya gugatan yang masuk dalam gugatan warga negara alias citizen lawsuit berasal dari 25 pengemudi dari berbagai aplikasi online seperti Grab bike, Grab Car, Uber, dan Go-jek. Para penggugat menyebutkan, gugatan ini berawal dari kekisruhan yang terjadi oleh supir taksi konvensional pada 22 Maret 2016 lalu.
"Para penggugat sangat dirugikan dengan tindakan tersebut," ungkap Ferdian Sutanto, Rabu (20/4). Ia juga menilai, kekisruhan yang cenderung anarkis tersebut sudah sepatutnya menjadi tanggung jawab para tergugat. Hal itu dikarenakan, belum adanya aturan yang menjadi payung hukum para penggugat.
Sehingga pihaknya berharap agar para tergugat selaku pemerintah dapat menjadi fasilitator dalam membuat regulasi dalam masalah ini. "Kisruhnya pada Maret lalai itu sebagai tanda para tergugat telah lalai sebagai fungsi pemerintah uang wajib mengayomi semua lapisan masyarakat," tambah Ferdian.
Memang diakuinya, dalam setahun kebelakang maraknya transportasi online khusunya di Jakarta belum adanya respon dari pemerintah dalam bentuk regulasi. Sehingga, menjadi tidak jelas kedudukan para penggugat di mata hukum dan menjadi gejolak sosial.
Dengan adanya regulasi, ia berharap nantinya akan ada kepastian hukum bagi para penggugat agar terciptanya keharmonisan antara angkutan umum konvensional dengan angkutan umum berbasis online.
Serta tidak adanya tumpang tindih dan tidak ada salah satu pihak yang mengklaim paling benar sesama pengemudi umum maupun online. Apalagi, menurut dia, konsumen cukup diuntungkan dengan adanya angkutan aplikasi online lantaran mudah diakses, aman, dan murah.
Dengan demikian, para penggugat meminta para tergugat untuk menerbitkan regulasi baik dalam bentuk peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perpu), peraturan presiden, keputusan menteri bersama, peraturan menteri, atau keputusan menteri. Agar hal tersebut dapat dijadikan solusi dalam permasalahan ini.
Dalam petitum gugatannya pula, ia meminta kepada majelis hakim untuk mengabulkan gugatannya. Serta menyatakan para tergugat telah lalai dalam menjalankan fungsi negara.
Tak hanya itu ia juga meminta kepada majelis untuk menghukum para tergugat untuk membuat regulasi yang dapat mengakomodir secara keseluruhan para penggugat yang dapat beroperaso aturan hukum dengan segera.
Tak lupa, menghukum para tergugat untuk wajib menginformasikan kepada publik melalui media elektronik dan cetak nasional atas regulasi tersebut. Sekadar tahu saja, gugatan dengan No. 185/PDT.G/2016/PN.JKT.PST ini didaftarkan sejak 1 April 2016. Adapun sidang baru memasuki sidang pertama pada Rabu (20/4).
Dalam sidang tersebut para tergugat tak seluruhnya hadir. Perwakilan dari presiden dan menteri komunikasi dan informatika tak hadir tanpa alasan. Dengan begitu majelis yang diketuai Djaniko MH Girsang menunda persidangan pada Kamis (28/4) dengan agenda pemanggilan kembali para tergugat dan kelengkapan identitas dari prinsipal para penggugat.
Sementara itu, Staf Biro Hukum Kementerian Perhubungan Yudi ditemui seusai sidang mengatakan belum melengkapi surat kuasa kepada majelis hakim. Namun, pihak kementerian mengklaim sudah menerima berkas gugatan. "Kami akan mempelajari gugatan jadi belum bisa memberikan jawaban kepada media," katanya.
Ia juga menjelaskan tim dari internal kementerian belum mengadakan pertemuan untuk membahas gugatan dari para pengemudi transportasi daring. Salah satu tim tersebut berasal dari Direktorat Jenderal Perhubungan Darat.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News