kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.249.000 2,21%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Tekan defisit hingga 3%, Sri Mulyani lakukan reformasi kebijakan & administrasi pajak


Rabu, 18 Agustus 2021 / 12:48 WIB
Tekan defisit hingga 3%, Sri Mulyani lakukan reformasi kebijakan & administrasi pajak
ILUSTRASI. Pemerintah optimistis defisit APBN pada 2023 bisa ditekan hingga 3% terhadap PDB.


Reporter: Yusuf Imam Santoso | Editor: Wahyu T.Rahmawati

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah optimistis defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada tahun 2023 bisa ditekan hingga 3% terhadap produk domestik bruto (PDB). Untuk itu, penerimaan negara bakal digenjot dengan melakukan berbagai reformasi perpajakan

Adapun sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang kebijakan keuangan negara akibat dampak pendemi virus corona, pemerintah berhak memperlebar defisit negara di atas 3% dari PDB pada 2020-2022. Kemudian, defisit harus kembali lagi di bawah 3% terhadap PDB.

Perkembangannya, realisasi defisit APBN 2020 sebesar 6,14% dari PDB. Sementara tahun ini pemerintah mematok defisit APBN 2021 yakni 5,82% terhadap PDB. Kemudian, dalam pelaksanaan APBN 2022 defisit ditargetkan 4,85% dari PDB.

Setali tiga uang, sedikitnya pemerintah perlu menekan defisit sebanyak 1,85% dari PDB pada 2023 agar konsolidasi fiskal bisa tercapai. Oleh karenanya, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani menyampaikan otoritas fiskal akan menjalankan reformasi pajak di bidang kebijakan dan administrasi.

Baca Juga: Ekonomi diramal bergerak moderat hingga akhir tahun, saham-saham ini bisa dilirik

“Berbagai reform keuangan negara kami lakukan, mengevaluasi belanja negara dengan spending better, pembiayaan negara yang makin inovatif, dan  kunci poin penting konsolidasi dan penyehatan APBN adalah penyehatan penerimaan negara terutama pajak,” kata Menkeu dalam acara yang bertajuk DJP IT Summit 2021, Rabu (18/8).

Sri Mulyani mengatakan dua reformasi perpajakan tersebut penting untuk dijalankan sedini mungkin, karena pola perekonomian Indonesia berubah akibat tekanan pandemi virus corona. Sehingga, aspek Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) harus dikedepankan dalam reformasi pajak.

“Teknologi digital merupakan peluang, tidak hanya di bidang ekonomi tapi juga sosial menggunakan teknologi digital. Dari sisi policy pajak dan administrasi perpajakan antar otoritas seluruh negara di dunia melakukan extraordinary measures untuk menyehatkan APBN-nya,” ucap Menkeu.

Baca Juga: Dipatok Rp 1.262,9 T, target penerimaan pajak tahun 2022 dinilai terlalu optimistis

Sri Mulyani mengatakan, dari reformasi kebijakan dan administrasi pajak, diharapkan Direktorat Jederal (Ditjen) Pajak dapat memetik manfaat yakni berupa data. Dus, data tersebut digunakan untuk memperkuat dan meningkatkan basis data internal dan eksternal otoritas.

Data tersebut pada akhirnya akan menjadi alat bagi Ditjen Pajak untuk mengoptimalkan penerimaan pajak ke depan. Termasuk dimanfaatkan untuk basis data kewajiban perusahaan digital asing, atau perusahaan yang berada dalam skema Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE).

“Sehingga bisa memanfaatkan data yang begitu banyak untuk meningkatkan kualitas basis data yang dimiliki DJP saat ini. Namun, penggalian potensi harus tetap menjaga privacy dan kerahasiaan sehingga tetap menjaga kepercayaan publik terhadap Direktorat Jenderal Pajak,” ujar Menkeu.

Adapun pada tahun 2021, outlook penerimaan pajak mencapai Rp 1.142,5 triliun, tumbuh 6,6% yoy. Sementara, untuk tahun 2022 ditargetkan pajak bisa terkumpul Rp 1.262,9 triliun, naik 10,5% dari outlook tahun ini.

Baca Juga: Menkeu sebut RAPBN 2022 lanjutkan dukungan pemulihan ekonomi dan reformasi struktural

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×