kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.520.000   12.000   0,80%
  • USD/IDR 15.919   11,00   0,07%
  • IDX 7.199   58,00   0,81%
  • KOMPAS100 1.106   10,86   0,99%
  • LQ45 878   11,76   1,36%
  • ISSI 220   0,63   0,29%
  • IDX30 449   6,24   1,41%
  • IDXHIDIV20 540   5,54   1,04%
  • IDX80 127   1,40   1,11%
  • IDXV30 134   0,16   0,12%
  • IDXQ30 149   1,66   1,12%

Tekan Angka Kematian pada Bayi, Pemerintah Harus Mencegah Infeksi Virus RSV


Sabtu, 29 Juni 2024 / 12:17 WIB
Tekan Angka Kematian pada Bayi, Pemerintah Harus Mencegah Infeksi Virus RSV
ILUSTRASI. PENUTUP MUKA UNTUK BAYI. Bayi memakai 'Face Shield' di RSIA Tambak, Jakarta, Jumat (17/04). KONTAN/Fransiskus Simbolon


Reporter: Fahriyadi | Editor: Fahriyadi .

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Penyakit pneumonia menjadi penyakit yang harus ditangani secara serius, terutama pada anak dibawah usia lima tahun seperti bayi. Salah satu penyebab pneumonia ini adalah berasal dari virus respiratory syncytial virus (RSV).

Untuk itu, pemerintah diminta untuk meningkatkan kesadaran, pencegahan, diagnosis, dan treatment (supportive) atas kasus RSV di Indonesia.

Ahli Neonatologi Prof Dr dr Rinawati Rohsiswatmo SpA(K) menjelaskan, RSV ialah infeksi yang utamanya menyerang sistem pernafasan, menyebabkan berbagai gejala mulai dari gejala ringan seperti flu hingga gangguan pernafasan yang lebih parah, terutama pada populasi rentan seperti bayi, anak kecil, dan orang dewasa lanjut usia (lansia).

RSV sangat menular dan menyebar terutama melalui tetesan pernafasan. Saat orang terinfeksi batuk, bersin, atau berbicara, tetesan kecil yang mengandung virus bisa terlepas ke udara dan terhirup orang lain.

Virus ini juga dapat bertahan hidup di permukaan benda selama beberapa jam, sehingga penularan tidak langsung dapat terjadi melalui kontak dengan permukaan benda yang terkontaminasi.

Menurut Prof Rina, biasa ia disapa, pada salah satu studi multicentre 2022 terkait epidemiologi community-acquired pneumonia (CAP) di Indonesia, RSV jadi satu dari lima patogen utama yang ditemukan.

"Temuan ini menyebutkan kasus RSV di Indonesia mencapai 27,1% dan di urutan kedua penyebab CAP pada anak usia di bawah 5 tahun," kata dia dalam keterangannya, Sabtu (29/6)

Selanjutnya, berdasarkan salah satu review literatur sistematik, laju insidensi lower respiratory tract infection (LRTI) atau infeksi saluran nafas bagian bawah akibat infeksi RSV di Indonesia sebesar 50,1 per 1.000 anak per tahun dengan jumlah 1.245.1852 kejadian. Insidensi dan proporsi infeksi RSV yang mengakibatkan LRTI dan LRTI berat lebih banyak terjadi pada kelompok usia kurang dari 1 tahun.

Ia memaparkan dari data empat penelitian lokal menunjukkan RSV adalah virus yang muncul setiap tahun. Kasus puncaknya terjadi pada minggu ke-48 (awal Desember) hingga minggu 16 (akhir Maret). Namun, para ahli masih yakin ini akan mengikuti flu yang berlangsung sepanjang tahun.

Faktor risiko utama infeksi RSV parah adalah pada bayi prematur dan bayi jangka panjang dengan kelainan CP (celebral palsy). "Ada 2,02% insiden bayi prematur berisiko tinggi lahir dengan ID RSV," ucapnya.

Prof Rina memaparkan banyak kejadian LRTI seperti pneumonia dan bronkiolitis yang dicurigai akibat RSV. Namun, terkadang ini tidak terdeteksi optimal karena terbatasnya akses tes diagnostik virus RSV.

"Maka sangat penting infeksi RSV jadi perhatian pemerintah, terutama untuk mencegah beban penyakit kematian dini bayi dengan risiko tinggi karena pneumonia akibat infeksi RSV," tegasnya.

Dalam hal ini, Prof Rina juga menyebut pengetahuan dan kesadaran masyarakat Indonesia tentang bahaya penyakit akibat RSV masih rendah, termasuk orang tua dengan anak berisiko tinggi terhadap RSV.

"Ini disebabkan beberapa faktor, seperti terbatasnya informasi dan kurangnya kampanye edukasi publik terkait infeksi RSV,” ungkapnya.

Dia mengatakan sampai saat ini tidak ada pengobatan definitif untuk infeksi RSV dan hanya terapi suportif. "Maka itu, pencegahan merupakan upaya paling penting, terutama bagi pasien yang memiliki risiko tinggi mengalami infeksi RSV yang berat," ucapnya.

Menurutnya, pemerintah harus berupaya meningkatkan awareness, khususnya pasien dengan risiko tinggi dan dampak jangka panjang yang muncul.

“Ini bisa berupa kampanye disease awareness dan edukasi berkelanjutan dari tenaga medis (dokter), masyarakat, dan pemerintah,” ujarnya.

Pemerintah juga perlu meningkatkan akses diagnostik untuk pemeriksaan virus, khususnya RSV. Dengan begitu, kasus LRTI akibat RSV diketahui optimal, sehingga dokter dan orang tua aware terhadap virus RSV.

“Selanjutnya, dari segi perawatan, pastikan pasien yang mengalami dampak parah akibat RSV dapat tertangani dengan baik,” tegasnya.

Bagi bayi prematur dan kelompok risiko tinggi lain, selain membatasi penularan RSV dengan perilaku hidup bersih dan sehat, perlu juga dipertimbangkan pemberian imunoprofilaksis atau profilaksis/pencegahan menggunakan antibodi monoklonal spesifik RSV (Palivizumab).

Menurut Prof Rina, penggunaan mab spesifik guna mencegah RSV itu sudah diterapkan di negara lain seperti Malaysia, Singapura, Australia, dan Jepang. "Kemudian, untuk memproteksi dari bahaya pneumonia, dapat dilanjutkan vaksin lainnya, sesuai jadwal imunisasi," jelasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×