Reporter: Agus Triyono, Herlina KD | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
JAKARTA. Berbeda dengan penetapan tarif moda transportasi massal kereta api ringan atau light rail transit (LRT) yang hampir mendapat titik terang, penetapan tarif moda transportasi masal lainnya Mass Rapid Transit (MRT) Jakarta masih belum jelas. Hingga kini, tarif moda transportasi itu masih menunggu kajian. Targetnya, tahun depan perhitungan tarif MRT baru bisa diputuskan.
Presiden Direktur PT MRT Jakarta William Sabandar mengatakan, dalam menetapkan tarif keekonomian moda transportasi MRT, kini tengah dilakukan survei jumlah penumpang yang berpotensi menggunakan MRT pada 2019. "Survei dilakukan untuk memperkirakan jumlah penumpang, sehingga dapat ditentukan tarif keekonomian dan besaran subsidi yang diberikan," katanya, Rabu (8/3).
Dalam penetapan tarif itu, kemampuan pemerintah untuk memberikan subsidi juga makan dipertimbangkan. Subsidi dibutuhkan supaya pengguna moda transportasi ini tidak terbebani.
Menurut William, setidaknya ada dua payung hukum yang perlu disusun sebelum MRT beroperasi. Salah satunya terkait perjanjian tentang besaran tarif antara PT MRT dengan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.
Pelaksana tugas (Plt) Gubernur DKI Jakarta Sumarsono bilang, hingga kini, Pemprov DKI Jakarta belum membahas skema tarif MRT Jakarta. "Belum dibahas, proyeknya saja belum selesai dibangun," ujarnya singkat.
Catatan saja, pembangunan fisik proyek MRT Jakarta fase pertama dengan jalur Lebak Bulus-Bundaran HI sepanjang 16 kilometer (km) kini telah mencapai 65%. Harapannya, proyek ini bisa beroperasi pada Maret 2019.
Perlu subsidi
Sementara itu, tarif LRT Jabodetabek kini sedikit menemui titik terang. Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Pandjaitan bilang, dalam draf revisi Peraturan Pemerintah (Perpres) tentang Percepatan Pembangunan Proyel LRT Jabodetabek pemerintah mencantumkan dua opsi tarif LRT yang harus dibayarkan masyarakat.
Menurutnya ada dua opsi tarif yang diusulkan ke Presiden Joko Widodo yakni Rp 12.000 dan Rp 10.000 per penumpang. Namun, hingga kini belum ada kejelasan terkait berapa beban subsidi yang harus ditanggung pemerintah bila opsi tarif yang diberikan sebesar itu.
Yang pasti, kata Luhut, dalam draf revisi Perpres tentang LRT, pemerintah juga akan melibatkan pembiayaan dari public service obligation (PSO) yang dikelola oleh PT Kereta Api Indonesia (KAI) dalam pendanaan proyek ini.
Pengamat transportasi Yayat Supriyatna berpendapat, masalah penetapan tarif transportasi massal seperti MRT dan LRT harus dikembalikan ke niat awal pemerintah untuk membangun proyek itu, yakni pelayanan atau motif bisnis? "Bila tujuannya pelayanan, dalam penetapan tarifnya pemerintah harus memberikan subsidi PSO, tentu dengan perjanjian standar pelayanan minimum yang ditentukan dengan ketat," jelasnya.
Selain itu, kata Yayat, agar moda transportasi massal bisa berjalan baik dan mencapai target penumpang untuk bisa mencapai harga keekonomian, pemerintah juga perlu melakukan traffic deemand management seperti pemberlakuan jalan berbayar dan menaikkan tarif jalan tol guna mendorong masyarakat beralih ke moda transportasi massal.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News