Reporter: Adinda Ade Mustami, Patricius Dewo | Editor: Sanny Cicilia
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Perusahaan-perusahaan Indonesia yang memiliki utang luar negeri tampaknya memiliki ketahanan yang kuat menghadapi pelemahan nilai tukar rupiah. Mayoritas korporasi nonbank yang melaporkan kegiatan penerapan prinsip kehati-hatian (KPPK) telah memenuhi ketentuan lindung nilai alias hedging terhadap utang luar negeri (ULN) mereka.
Bank Indonesia (BI) mencatat, selama kuartal keempat tahun lalu, rata-rata 91% korporasi nonbank dari total pelapor KPPK sudah memenuhi ketentuan hedging ULN. Namun, BI merahasiakan patokan nilai tukar rupiah untuk aksi hedging tersebut.
Direktur Eksekutif Departemen Statistik BI Yati Kurniati menjelaskan, sebanyak 89% korporasi dari total pelapor KPPK telah memenuhi ketentuan hedging untuk ULN dengan tenor 0–3 bulan. Kemudian, 93% korporasi dari total pelapor KPPK memenuhi ketentuan hedging untuk ULN bertenor 3–6 bulan.
Lebih lanjut, Yati memerinci, dari jumlah itu, nilai hedging yang dilakukan oleh korporasi pelapor KPPK bertenor 0–3 bulan mencapai US$ 7,7 miliar. "Atau, 76% dari total ULN yang jatuh tempo 0–3 bulan ke depan (Januari–Maret 2018)," jelas Yati kepada KONTAN, Sabtu (23/6).
Sementara nilai hedging korporasi pelapor KPPK dengan tenor 3–6 bulan mencapai US$ 4,6 miliar. Jumlah itu mencapai 69% dari total ULN jatuh tempo pada periode tersebut, Maret–Juni 2018.
Gubernur BI Perry Warjiyo menegaskan, ketahanan utang swasta terhadap gejolak nilai tukar rupiah sudah bagus. "90% sektor swasta nonbank telah menjalankan hedging. Mereka juga melakukan manajemen risiko sendiri terhadap likuiditas dan pemenuhan rating-nya," kata Perry.
Di atas ketentuan
Ekonom Samuel Aset Manajemen Lana Soelistianingsih meyakini, sektor swasta sudah memiliki manajemen risiko yang bagus dalam mengelola ULN. Terbukti, tingkat hedging mereka sudah jauh dari ketentuan rasio hedging minimal 25% dari selisih negatif antara aset valas dan kewajiban valas yang akan jatuh tempo 0–3 bulan serta 3–6 bulan ke depan. Ini sesuai dengan ketentuan yang tertuang dalam Peraturan BI (PBI) Nomor 16/21/PBI/2014.
"Kalau persentase minimumnya dipenuhi, itu (ketahanan korporasi) sudah cukup kuat," kata Lana ke KONTAN, Minggu (24/6). Tapi, dia mengharapkan, jumlah korporasi yang memenuhi ketentuan hedging ULN kelak bisa mencapai 100%.
Menurut Lana, aksi hedging ULN ibarat korporasi membeli asuransi. Saat rupiah melemah dan korporasi akan membayar utang luar negeri yang jatuh tempo, maka mereka tidak perlu khawatir dengan pelemahan rupiah tersebut. Meski memang, biaya hedging ULN yang mereka bayarkan cukup mahal.
Bahkan, Lana menambahkan, korporasi bisa mendulang keuntungan jika kurs rupiah yang dipatok bank saat membeli hedging lebih kuat dibanding saat akan membayar utang luar negeri yang jatuh tempo. Melalui hedging ULN, korporasi juga tidak perlu buru-buru membutuhkan mata uang asing dalam jumlah yang besar.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News