Reporter: Indra Khairuman | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Indonesia mencatat surplus neraca perdagangan selama 62 bulan berturut-turut hingga Juni 2025. Meski demikian, nilai surplus pada bulan Juni mengalami sedikit penurunan dibanding bulan sebelumnya.
Ekonom Bank Danamon, Hosianna Evalita Situmorang, menyampaikan bahwa surplus perdagangan Indonesia pada Juni 2025 mencapai US$ 4,10 miliar, lebih rendah dibandingkan US$ 4,30 miliar pada Mei.
Namun, capaian ini masih jauh lebih tinggi dibandingkan Juni tahun lalu yang sebesar US$ 2,39 miliar.
Kinerja ekspor tumbuh signifikan sebesar 11,29% secara tahunan (YoY) menjadi US$ 23,44 miliar.
Baca Juga: Surplus Neraca Perdagangan Indonesia Menyusut Jadi US$ 4,10 Miliar pada Juni 2025
Pertumbuhan tersebut terutama didorong oleh sektor manufaktur yang naik 16,57% YoY, meskipun harga komoditas global sedang melemah. Sementara itu, ekspor sektor pertambangan justru turun 13,36% YoY.
Di sisi lain, impor juga meningkat 4,28% YoY menjadi US$ 19,33 miliar. Penurunan tajam tercatat pada sektor minyak dan gas yang merosot 32,07% YoY.
"Impor barang konsumsi melambat menjadi 1,18%, sementara barang modal melonjak 37,89% meskipun PMI berkontraksi di angka 46,7," ujar Hosianna dalam keterangan resmi yang dikutip Kontan.co.id, Jumat (1/8).
Secara kumulatif, surplus perdagangan Indonesia pada semester I 2025 naik 25,03% YoY menjadi US$ 19,48 miliar.
Amerika Serikat tetap menjadi negara penyumbang surplus terbesar, yakni sebesar US$ 8,57 miliar. Sementara itu, impor mesin dari AS meningkat 19,57% YoY menjadi US$ 0,95 miliar, dan impor kendaraan naik 31,29%, terutama dari China yang mencapai US$ 2,23 miliar.
Baca Juga: Surplus Neraca Dagang RI Diproyeksi Menyusut pada Juni 2025, Ini Pemicunya
Dari sisi inflasi, Indeks Harga Konsumen (IHK) tetap terkendali dalam rentang target Bank Indonesia (BI) sebesar 2,5–4,5% YoY. Pada Juli 2025, inflasi tercatat sebesar 0,30% secara bulanan (MoM) dan 2,37% secara tahunan (YoY). Inflasi inti berada di level 2,32% YoY.
Inflasi bahan pangan bergejolak naik 3,82% YoY, dipicu oleh kenaikan harga beras, bawang merah, dan tomat. Sementara itu, inflasi barang dan jasa yang diatur pemerintah tercatat rendah, yakni 1,32% YoY, meskipun ada penyesuaian harga bahan bakar.
Hosianna juga mencatat bahwa risiko eksternal mulai mereda setelah pemerintah Amerika Serikat menurunkan tarif resiprokal untuk Indonesia dari 32% menjadi 19%.
Kebijakan ini diimbangi dengan peningkatan impor AS terhadap sejumlah sektor dari Indonesia, yakni pertanian (US$ 4,5 miliar), energi (US$ 15 miliar), dan pesawat (US$ 3,2 miliar), serta investasi BUMN dan BPI Danantara di sektor-sektor AS senilai total US$ 34 miliar.
Baca Juga: Impor dari China Naik, Surplus Necara Dagang Indonesia Mengecil
Meski demikian, deregulasi impor yang dijadwalkan pada Agustus 2025 untuk 10 komoditas utama berpotensi mendorong kenaikan impor lebih lanjut. Hal ini bisa menambah tekanan terhadap neraca perdagangan, terutama jika harga komoditas global tetap rendah.
Namun, menurut Hosianna, sikap akomodatif Bank Indonesia melalui pelonggaran imbal hasil Surat Berharga Rupiah Indonesia (SRBI) diharapkan dapat meredam potensi dampak negatif terhadap pertumbuhan ekonomi nasional.
Selanjutnya: Wellfest 2025 Resmi Dimulai, Dorong Literasi dan Ekosistem Wellness Nasional
Menarik Dibaca: Simak Cara Pengajuan KUR BRI 2025 dengan Bunga Spesial dan Proses Mudah
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News