kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.533.000   0   0,00%
  • USD/IDR 16.272   -75,00   -0,46%
  • IDX 7.075   90,98   1,30%
  • KOMPAS100 1.056   15,77   1,52%
  • LQ45 830   13,19   1,61%
  • ISSI 214   1,82   0,85%
  • IDX30 423   7,16   1,72%
  • IDXHIDIV20 510   7,87   1,57%
  • IDX80 120   1,81   1,52%
  • IDXV30 125   0,53   0,43%
  • IDXQ30 141   1,98   1,42%

Sulit Pulih dari Pandemi, 52% Negara Berkembang Tak Memiliki Akses Modal


Rabu, 06 Maret 2024 / 08:53 WIB
Sulit Pulih dari Pandemi, 52% Negara Berkembang Tak Memiliki Akses Modal
ILUSTRASI. Menteri Keuangan Sri Mulyani saat Rapat Paripurna DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta. Sulit Pulih dari Pandemi, 52% Negara Berkembang Tak Memiliki Akses Modal


Reporter: Siti Masitoh | Editor: Noverius Laoli

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Tren resesi negara maju dan ketidakpastian perekonomian global turut berimbas ke banyak negara berkembang. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyampaikan, saat ini terdapat 52% negara berkembang yang sedang menghadapi permasalahan fiskal.

Ia menyebutkan kondisi ini juga masuk dalam bahasan pertemuan para Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral (Finance Ministers and Central Bank Governors/FMCBG) di bawah Presidensi G20 Brasil, pada 28-29 Februari 2024.

"Banyak negara berkembang yang saat ini 52% negara sedang menghadapi masalah fiskal. APBN-nya tidak sehat, utangnya dalam kondisi tertekan," tutur Sri Mulyani, Selasa (5/3).

Baca Juga: Sri Mulyani Ungkap 52% Negara Berkembang Kesulitan Bayar Utang

Sri Mulyani menambahkan, dengan kondisi tersebut, bahkan 52% negara berkembang tersebut tidak memiliki akses modal, sehingga mereka tidak mampu pulih sejak pandemi Covid-19. Maka dari itu, banyak negara berkembang masih memerlukan dukungan.

Dengan situasi tersebut, maka sangat diperlukan dukungan institusi multilateral agar menjadi solusi, terutama dalam persoalan pembiayaan.

Sri Mulyaini juga menyebutkan dalam pertemuan FMCBG di Brasil membahas tren dan guncangan global saat ini, seperti pandemi, perubahan iklim, teknologi digital, fragmentasi dan proteksionisme perdagangan.

Sejumlah kondisi tersebut memperparah kesenjangan dan berdampak negatif bagi negara berpendapatan rendah. "Terutama bagi keluarga miskin, perempuan dan daerah tertinggal," tambah dia.

Baca Juga: Jepang dan Inggris Resesi, Sri Mulyani Ungkap Dampaknya Bagi Ekonomi Global

Adapun pertemuan pertama FMCBG mendiskusikan agenda-agenda global terkini, seperti berbagai kebijakan ekonomi untuk mengatasi kesenjangan, perspektif global terhadap pertumbuhan, inflasi dan stabilitas keuangan, perpajakan internasional, sektor keuangan di Abad 21, serta utang global dan keuangan berkelanjutan.

Hanya saja, pertemuan ini belum berhasil menyepakati semua isu yang dibahas.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective Bedah Tuntas SP2DK dan Pemeriksaan Pajak (Bedah Kasus, Solusi dan Diskusi)

[X]
×