Reporter: Adhitya Himawan | Editor: Amal Ihsan
JAKARTA. Beban subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) membengkak bukan karena kenaikan harga minyak dunia, tetapi akibat melemahnya nilai tukar rupiah.
Makanya, pemerintah tidak pernah mendiskusikan Harga Pokok Produksi (real production cost secara terbuka kepada masyarakat. Yang ada, pemerintah justru sibuk membicarakan margin harga minyak dalam negeri dengan harga luar negeri.
"Padahal dimanapun itu, kita bicara dulu soal harga pokok produksi, baru kita bicara margin untuk menghitung keuntungan,"ujar pengamat ekonomi Yanuar Rizki di diskusi bertajuk "Warga Negara Menggugat Harga BBM Bersubdisi", di Gedung Sarinah, Jakarta, Kamis, (2/5).
Menurutnya, alasan pemerintah menaikkan harga BBM bersubsidi akibat harga minyak dunia yang terus naik sulit dipercaya. Sebab, saat ini, hampir semua bursa komoditas menunjukkan kecenderungan harga minyak dunia saat ini sedang turun. Yanuar meyakini bahwa beban APBN lebih berat bukan karena harga minyak dunia terus meningkat, tapi karena biaya impor minyak meningkat akibat nilai tukar rupiah melemah. "Ini terbukti dari harga crude oil dunia turun dari 90 US$/BBL menjadi 86 US$/BBL,"jelas Yanuar.
Yanuar menuntut pemerintah bersikap jantan. Pemerintah harus mengakui secara terus terang penyebab naiknya beban subsidi BBM. AS saat ini sedang mengalami defisit fiskal. Ini membuat Bank Sentral AS membeli obligasi atau memberikan likuiditas kepada pasar untuk mencegah krisis makin parah.
Kondisi inilah membuat uang likuiditas banjir. Obligasi yang telah dibeli Bank Sentral AS ini tidak berstatus aset, tapi berstatus trading. Tentu saja status trading menunjukkan intensi bahwa mereka berorientasi mendapatkan kapital kembali. Banjir likuiditas ini mengakibatkan dolar melemah sehingga sempat membuat nilai tukar rupiah Rp 8.700 per 1 dolar. "Nah sekarang uang yang diguyur kepada pelaku pasar oleh Bank Sentral AS ini sudah ditarik kembali. Makanya nilai rupiah kita kembali melemah,"pungkas Yanuar.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News