kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45893,43   -4,59   -0.51%
  • EMAS1.333.000 0,53%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Suahasil Nazara Sebut Inflasi Tinggi di AS Sebabkan Tekanan pada Negara Berkembang


Selasa, 02 Agustus 2022 / 14:21 WIB
Suahasil Nazara Sebut Inflasi Tinggi di AS Sebabkan Tekanan pada Negara Berkembang
Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara Sebut Inflasi Tinggi di AS Sebabkan Tekanan pada Negara Berkembang.


Reporter: Dendi Siswanto | Editor: Noverius Laoli

KONTAN.CO.ID -  JAKARTA. Inflasi tahunan di Amerika Serikat pada Juni 2022 naik menjadi 9,1%. Adapun kenaikan inflasi itu merupakan yang tertinggi dalam lebih dari empat dekade. Sehingga kondisi tersebut akan sangat berdampak kepada perekonomian negara lain.

Wakil Menteri Keuangan (Wamenke) Suahasil Nazara mengatakan, melonjaknya inflasi di Amerika Serikat bukanlah suatu kondisi yang sederhana, namun memiliki dampak yang luar biasa.

Ia menilai, terjadinya inflasi di Negeri Paman Sam tersebut akan membuat negara-negara emerging market mengalami tekanan, termasuk Indonesia.

"Di Amerika 9,1% inflasi, itu bukan sesuatu yang simpel, bukan sesuatu yang terjadi sering, bahkan itu terjadi dalam kondisi yang sangat jarang sekali," ujar Suahasil dalam webinar Mid Year Economic Outlook 2022, Selasa (2/8).

Kondisi tersebut juga menimbulkan respons dari kebijakan di Amerika Serikat dan Eropa yaitu meningkatkan suku bunganya. Sehingga menurutnya, naiknya suku bunga tersebut akan sangat berdampak kepada negara-negara emerging market seperti Indonesia yang akan menghadapi berbagai tekanan, seperti disrupsi sisi suplai.

Baca Juga: Inflasi Juli 2022 Meroket 4,94%, Wamenkeu Suahasil Beberkan Inflasi di Negara Lain

"Tekanan dari kapital yang bergerak. Ini harus kita tangani, maka terjadi disrupsi sisi suplai dan disrupsi sisi suplai inilah yang membuat inflasi tadi meningkat," katanya.

Tidak hanya itu, Suahasil menyebut, pada Februari 202, terjadi perang Rusia Ukraina yang juga meningkatkan tekanan global. Perang kedua negara tersebut sangat berpengaruh kepada harga komoditas yang fluktuatif atau tidak menentu.

Misalnya, harga Crude Palm Oil (CPO) sempat mengalami kenaikan US$ 1.800 per ton, dan sekarang mengalami penurunan US$ 900 per ton. Begitu juga dengan komoditas lainnya.

"Volatilitas global yang tadi kita perkirakan memang pasti akan meningkat, tekanan global pasti akan meningkat karena peningkatan inflasi ini ditambah lagi kondisi geopolitk. Dan kita lihat hasilnya di beberapa harga komoditas ini kemudian bergerak dengan sangat cepat," tutur Suahasil.

Baca Juga: Inflasi Korea Selatan Capai 6,3% di Juli, Dekati Level Tertinggi dalam 24 Tahun

Oleh karena itu, Suahasil menuturkan, volatilitas harga tersebut perlu ditangani dengan hati-hati, karena Indonesia menghadapi berbagai gejolak harga energi dan pangan yang cukup fluktuatif di pasar global.

Namun meski Indonesia terkena dampaknya, kondisi fundamental ekonomi Indonesia diyakini masih kuat jika dibandingkan dengan negara lain.

Hal itu terlihat dari inflasi Juni 2022 yang berada di kisaran 4,4% atau lebih rendah jika dibandingkan dengan negara lain, seperti Singapura mencapai 5,6%, Korea Selatan 6%, Thailand 7,7%, Amerika Serikat 9,1%, Argentina 64% dan Turki 78,6%.

"Lihat bahwa negara-negara lain banyak sekali menghadapi inflasi yang lebih tinggi, jauh lebih tinggi dari Indonesia," jelas Suahasil.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Practical Business Acumen Supply Chain Management on Sales and Operations Planning (S&OP)

[X]
×