kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45919,51   10,20   1.12%
  • EMAS1.343.000 -0,81%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Soal viability gap fund, Kemenkeu menilai swasta hanya perlu lakukan efisiensi


Senin, 25 Juli 2011 / 21:24 WIB
Soal viability gap fund, Kemenkeu menilai swasta hanya perlu lakukan efisiensi
ILUSTRASI. Pengendara kendaraan melintas di Jl. Malioboro, Yogyakarta. Cuaca besok di Jawa dan Bali cerah hingga berawan, menurut prakiraan BMKG.


Reporter: Herlina KD |

JAKARTA. Rencana pemerintah menyediakan dukungan dana proyek kerjasama antara pemerintah dan swasta (Public privat partnership/PPP) di dalam APBN untuk menutup kesenjangan mengenai ketidaklayakan investasi Viability Gap Fund (VGF) sepertinya tidak akan terlaksana. Pasalnya, Kementerian Keuangan menilai swasta bisa menutup kesenjangan ini dengan melakukan efisiensi.

Pelaksana tugas (Plt) Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Bambang Brodjonegoro mengatakan sebenarnya, tujuan pemerintah membentuk KPS (kerjasama Pemerintah dan Swasta) adalah untuk membuat proyek yang tidak layak menjadi layak di mata swasta. Hanya saja, pemerintah tidak menyebutkan spesifik bahwa pemerintah akan menutup kesenjangan atau gap keuntungan dalam investasi "Dalam kerjasama antara pemerintah dan swasta, memang pemerintah berupaya untuk membuat mitra dari pihak swasta nyaman untuk masuk. Tapi bukan berarti kita menjamin return-nya sekian (di angka tertentu)," ujarnya Senin (25/7).

Untuk bisa mendapatkan return investasi yang layak, Bambang mengatakan pihak swasta sebenarnya bisa menambal agar return-nya layak dari beberapa sisi. "Return itu bisa dari penerimaan atau dari cost (biaya) yang dipotong," katanya.

Sebelumnya, Deputi Bidang Sarana dan Prasarana Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Dedy S. Priatna mengungkapkan selama ini investor kurang berminat pada proyek PPP karena hampir semua proyek PPP hanya menawarkan keuntungan sekitar 14%. Padahal, para investor yang masuk ke proyek PPP menginginkan keuntungan sekitar 17% - 18% dengan memperhitungkan biaya bunga pinjaman bank yang sebesar 12%.

Ia mencontohkan, jika ada proyek dengan investasi Rp 2 triliun, maka pemerintah bisa bekerjasama dengan swasta. Tapi, untuk bisa menaikkan return swasta menjadi 18%, maka biaya konstruksi harus ditanggung oleh pemerintah. "Jika investasinya Rp 2 triliun, maka katakanlah Rp 400-500 miliar dari Rp 2 triliun itu ditanggung pemerintah. Rp 400-Rp 500 miliar itu yang disebut Viability Gap Fund,” jelas Dedy.
Deddy bilang, Peraturan Presiden No 13 tahun 2010 tentang kerjasama pemerintah dengan badan usaha dalam penyediaan infrastruktur sebenarnya memuat klausul mengenai dukungan langsung pemerintah dalam pelaksanaan proyek-proyek infrastruktur.

Menurutnya, untuk alokasi dana VGF ini, seluruh kementerian mengusulkan untuk dibentuk pos belanja khusus di APBN sehingga tidak mengganggu anggaran kementerian. Sebab, selama ini Kementerian sudah terbebani dengan kontrak kinerja dengan presiden yang membutuhkan dana besar. "Semua meminta itu ada alokasi khusus, seperti untuk land capping atau BLU (badan layanan umum) di pos belanja lain-lain,” ujar Dedy akhir pekan lalu.

Mengenai usulan ini, Bambang mengaku belum mengetahuinya. "Belum tahu, saya malah baru mendengar," ujarnya. Tapi, Bambang bilang mengenai skema lain di mana pemerintah membangun proyeknya terlebih dahulu, lalu baru dilepas ke swasta itu ide yang cukup bagus. Hanya saja, "Belum ada mekanismenya, cuma itu ide yang sekarang kita pikirkan. Tapi belum bisa tahun ini dilakukan," jelasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Success in B2B Selling Omzet Meningkat dengan Digital Marketing #BisnisJangkaPanjang, #TanpaCoding, #PraktekLangsung

[X]
×