kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45903,33   4,58   0.51%
  • EMAS1.313.000 -0,38%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Soal penyadapan, Setya Novanto pun menang di MK


Rabu, 07 September 2016 / 17:32 WIB
Soal penyadapan, Setya Novanto pun menang di MK


Sumber: Kompas.com | Editor: Adi Wikanto

Jakarta. Mahkamah Konstitusi (MK) menerima sebagian gugatan uji materi yang diajukan oleh Mantan Ketua DPR, Setya Novanto, terkait penyadapan atau perekaman yang dijadikan barang bukti dalam penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan.

Hal itu diatur dalam Pasal 5 Ayat 1 dan Ayat 2 serta Pasal 44 huruf b Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang menyebutkan bahwa informasi atau dokumen elektronik merupakan salah satu bukti penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di pengadilan sah.

Selain itu, diatur juga dalam Pasal 26 A UU KPK yang menyebutkan bahwa alat bukti yang sah berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima atau disimpan secara elektronik dengan alat serta dokumen yang setiap rekaman data atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas, maupun yang terekam secara elektronik.

Hakim Konstitusi Manahan MP Sitompul dalam sidang putusan yang digelar di MK pada Selasa (7/9/2016) mengatakan bahwa ada kekurang-lengkapan peraturan terkait penyadapan. Maka dari itu, gugatan uji materi yang diajukan pemohon menjadi beralasan secara hukum.

"Untuk melengkapi hal itu, dalam pertimbangan Mahkamah, yang termasuk di dalamnya tidak semua orang bisa melakukan penyadapan, maka pemberlakuan bersyarat dalam UU ITE beralasan secara hukum," ujar Manahan dalam persidangan di MK, Jakarta Pusat.

Menurut dia, penyadapan terhadap satu pihak harus dilakukan oleh aparat penegak hukum dengan ketentuan sesuai UU ITE. "Pemberlakuan penyadapan harus sesuai dengan peraturan yang berlaku, yaitu atas permintaan penegak hukum sebagaimana diatur dalam UU ITE," kata dia.

Ketua Majelis Hakim Kontitusi, Arief Hidayat, mengatakan bahwa gugatan terkait rekaman atau penyadapan yang dilayangkan oleh Setya memenuhi unsur pelanggaran UUD 1945 selama frasa informasi elektronik dan atau dokumen elektronik dijadikan sebagai alat bukti.

Arief menambahkan, Pasal 5 Ayat 1 dan Ayat 2 serta Pasal 44 huruf b dalam UU ITE, tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat selama tidak dimaknai, khususnya frasa informasi dan dokumen elektronik, sebagai alat bukti.

Dengan demikian, lanjut Arief, MK menerima sebagian permohonan pemohon. "Permohonan pemohon diterima sebagian sepanjang tidak dimaknai khususnya frasa informasi elektronik dan atau dokumen elektronik sebagai alat bukti penegakan hukum atas permintaan oleh kepolisian dan institusi penegak hukum lainnya sebagaimana diatur dalam UU ITE," kata Arief.

Uji materi yang diajukan Ketua Umum Partai Golkar ini teregistrasi nomor perkara 20/PUU-XIV/2016. Pemohon mengajukan uji materi lantaran merasa dirugikan dengan ketentuan di kedua pasal tersebut, yakni Pasal 5 Ayat 1 dan Ayat 2 serta Pasal 44 huruf b Undang-Undang (UU) ITE dan Pasal 26 A UU KPK.

Pemohon dalam gugatannya meminta Majelis MK menafsirkan secara lebih rinci keabsahan mengenai dokumen elektronik yang dijadikan alat bukti tanpa didahului permintaan pihak yang berwenang.

Dikutip dari keterangan pers MK, sidang yang digelar pada Selasa (3/5/2016) lalu, Pakar hukum media dari Universitas Airlangga Henry Subiakto selaku ahli yang dihadirkan Pemerintah menyatakan, keberadaan aturan mengenai alat bukti elektronik seperti yang tercantum dalam Pasal a quo sangat penting di era teknologi informasi yang semakin maju.

Jika aturan tersebut dihilangkan, maka tidak ada aturan yang melindungi warga negara dari kejahatan dunia maya. Menurut Subiakto, kemajuan teknologi bisa mengubah hal privat menjadi milik publik meski tanpa izin. Hal itu termasuk ke dalam ranah pidana dan membutuhkan perlindungan hukum untuk pencegahannnya, yakni UU lTE.

Rekaman pertemuan

Setya sebelumnya tersangkut masalah dugaan pencatutan nama Presiden Joko Widodo-Wapres Jusuf Kalla terkait permintaan saham Freeport. Hal itu terungkap dalam rekaman percakapan antara Setya Novanto, Presiden Direktur PT Freeport ketika itu, Maroef Sjamsoeddin, dan pengusaha Muhammad Riza Chalid.

Pertemuan itu direkam oleh Maroef. Rekaman itu kemudian diserahkan ke Kejaksaan Agung untuk kepentingan penyelidikan dugaan adanya permufakatan jahat. Namun, pengusutan kasus tersebut tidak berjalan dengan alasan penyidik Kejaksaan tidak bisa meminta keterangan Riza.

(Fachri Fachrudin)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
EVolution Seminar Practical Business Acumen

[X]
×