Reporter: Hendra Gunawan | Editor: Edy Can
JAKARTA. Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel) mengirimkan surat kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) terkait kasus korupsi yang menjerat PT Indosat Tbk (ISAT) dan anak usahanya PT Indosat Mega Media (IM2). Sebelumnya, surat serupa juga dilayangkan oleh Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII).
Dalam surat dengan nomor 001/MASTEL-KU/i/2013 tertanggal 7 Januari 2013 tersebut, Mastel meminta SBY menghentikan perkara tuduhan penyelenggaraan internet 3G di frekuensi 2.1 GHz Indosat dan IM2. Mastel menuding Kejaksaan Agung telah menyalahgunakan kekuasaan dengan mengusut dugaan korupsi penyelenggaraan kanal 3G itu.
Dengan penyalahgunaan kekuasaan itu, Mastel menilai bisa mengganggu laju pertumbuhan layanan jasa telekomunikasi, ketidakpastian hukum di bidang investasi dan menghambat laju pembangunan jaringan dan aksesibilitas telekomunikasi sebagai salah satu infrastruktur pembangunan nasional yang penting dan strategis dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Surat yang diteken Ketua Umum Mastel Setyanto P. Santosa juga menyatakan prihatin ada beberapa hal. Pertama, sikap Kejaksaan Agung yang memidanakan perjanjian bisnis antara Indosat-IM2 semata-mata didasarkan pada laporan Denny A.K yang tujuannya adalah memeras Indosat. Denny A.K yang mengatasnamakan Lembaga Konsumen Telekomunikasi Indonesia (LKTI), saat ini sudah dihukum oleh Pengadilan Negeri dengan hukuman selama 16 bulan karena terbukti memeras Indosat.
Kedua, perjanjian bisnis yang dilakukan antara IM2 dengan Indosat adalah model/praktek bisnis yang umum (common practice) di bidang telekomunikasi, yang juga dilakukan oleh lebih dari 200 perusahaan yang sejenis dengan IM2.
Ketiga, Kejaksaan Agung dalam memproses pengaduan/kasus ini tidak mempertimbangkan pandangan dan pendapat, antara lain dari Menteri Komunikasi dan Informatika RI selaku Regulator dan Pembuat/Penanggung Jawab Kebijakan di bidang informatika yang secara tegas menyatakan bahwa kerja sama antara IM2 dengan Indosat sudah sesuai dengan peraturan yang berlaku yakni Undang-undang No. 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi dan Peraturan Pemerintah No. 52 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi, sebagaimana telah disampaikan kepada Jaksa Agung RI melalui surat No.T 684/M.KOMINFO/KU.04.01/11/12 tanggal 13 November 2012, yang juga ditembuskan kepada Bapak Presiden RI.
Menurut Mastel, sikap Kejaksaan Agung sebagaimana tersebut di atas, membuat para pelaku industri menjadi kehilangan pegangan (gamang/ragu-ragu). Sebab, suatu aktivitas bisnis yang telah sesuai dengan praktek yang umum (industrial practices) dan sah menurut peraturan perundangan di bidang Kominfo dan dibenarkan oleh Regulator, sewaktu-waktu akan dapat dinyatakan sebagai suatu perbuatan pidana oleh Kejaksaan Agung RI. “Hal inilah yang selanjutnya akan menimbulkan ketidakpastian dalam perlindungan hukum yang dijamin oleh konstitusi,” tulis surat tersebut.
Mastel juga menyayangkan soal perhitungan kerugian negara versi Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) yang menaksir adanya kerugian negara Rp 1,3 triliun dalam kasus tersebut. Menurut Setyanto, BPKP sebagai internal auditor pemerintah melakukan pula audit investigasi atas tuduhan Kejaksaan Agung dan mempertimbangkan pendapat Kementerian Komunikasi dan Informatika.
Mastel juga menyatakan BPKP juga telah menggunakan standar ganda. Menurutnya, pada satu sisi BPKP meyakini adanya kerugian negara Rp 1,3 triliun dalam kerja sama tersebut. Sementara di sisi lain BPKP di dalam laporan mengenai hasil audit BPKP untuk Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) sektor telekomunikasi di Kementerian Komunikasi dan Informatika pada periode terjadinya kerja sama antara PT Indosat, Tbk. dengan PT IM2, menyatakan tidak terdapat kerugian negara.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News