kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.222.000 0,41%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Sidang uji formil, ahli sebut pembentukan UU Cipta Kerja tidak cacat formil


Rabu, 13 Oktober 2021 / 18:27 WIB
Sidang uji formil, ahli sebut pembentukan UU Cipta Kerja tidak cacat formil
ILUSTRASI. Sidang uji formil, ahli sebut pembentukan UU Cipta Kerja tidak cacat formil


Reporter: Vendy Yhulia Susanto | Editor: Noverius Laoli

KONTAN.CO.ID -  JAKARTA. Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang uji formil dan materiil UU nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Agenda sidang hari ini adalah mendengarkan keterangan ahli DPR.

Guru Besar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, I Gde Pantja Astawa mengatakan, metode omnibus law dalam pembentukan regulasi di Indonesia. Khususnya dalam penyusunan UU Cipta Kerja dihadapkan pada hal-hal yang berada pada tataran das sollen dan das sein.

Das sollen misalnya adalah gagasan Presiden Jokowi untuk menggunakan metode omnibus law dalam penyusunan UU guna mendukung keinginannnya mewujudkan kesejahteraan rakyat. Yakni melalui pemenuhan hak warga negara untuk memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak. Serta mengundang atau menarik investor dalam rangka investasi untuk menciptakan dan memperluas lapangan pekerjaan

Astawa menyebut, timbulnya gagasan untuk menggunakan metode omnibus law sebagai instrumen pendukung keinginan mewujudkan kesejahteraan rakyat bertolak dari kenyataan faktual atau das sein. Yaitu adanya obesitas regulasi atau hyper regulasi yang tumpang tindih, tidak ada harmonisasi, inkonsistensi, dan seterusnya

Baca Juga: KKP perketat pemberian izin pemanfaatan ruang laut berisiko tinggi

Ia menanggapi permohonan para pemohon yang menyebut bahwa UU Cipta Kerja sebagai cacat formil karena penyusunan UU cipta kerja dengan menggunakan metode omnibus law tidak dikenal, tidak diakui atau diatur dalam UU tentang pembentukan perundang – undangan (UU P3).

“Penilaian yang demikian itu sangat tidak berdasar atau beralasan,” ujar Astawa dipantau dari Youtube Mahkamah Konstitusi, Rabu (13/10).

Astawa menyebutkan sejumlah argumen terkait tersebut. Pertama, UU P3 dinilai berdiam diri atau tidak responsif terhadap penggunaan metode omnibus law sebagai jalan cepat untuk dapat membuat regulasi secara efektif dan efisien.

“Dengan merujuk konsentrasi berdiam dirinya UU P3, maka penggunaan metode omnibus law dapat dipandang semacam konvensi yang berfungsi melengkapi UU P3 yang tidak responsif tadi,” ujar dia.

Kedua, tujuan UU Cipta Kerja yang disusun dengan menggunakan metode omnibus law adalah menciptakan lapangan pekerjaan yang seluas-luasnya dalam rangka memenuhi hak atas penghidupan yang layak melalui kemudahan berinvestasi.

Astawa menilai, tujuan tersebut dihadapkan oleh hukum, dalam hal ini UU P3 dimana prosedur UU diatur didalamnya. Hukum dan prosedur adalah cara untuk mencapai tujuan. Artinya baik buruknya hukum dan prosedur diukur dari tercapai atau tidaknya tujuan.

Manakala tujuan tidak tercapai maka mestinya hukum dan prosedur itu perlu ditinjau ulang. Bisa jadi hukum dan prosedur itu sudah tidak relevan lagi dengan konteks masalah, situasi dan kondisi serta dinamika yang terjadi. Khususnya dalam pembentukan regulasi.

Baca Juga: RUU KUP dianggap memberatkan usaha mikro kecil, asosiasi sodorkan 5 usulan

Astawa menyebut, omnibus law dapat dikatakan bukan inovasi murni karena diilhami dalam praktek di beberpa negara lain. Seperti di Amerika Serikat dan Filipina.

“Dalam arti kalau memang penggunaan metode ini lebih efisien dan efektif mengapa tidak. Ini sebabnya kalau kita bicara penyusunan UU Cipta Kerja dengan menggunakan metode omnibus law memang tidak ada, tidak diakui dan tidak diatur. Dikatakan konvensi, bahwa UU P3 ini berdiam diri,” ujar dia.




TERBARU

[X]
×