Sumber: KONTAN |
JAKARTA. Sejak pekan lalu, wajah Kapolri Bambang Hendarso Danuri selalu tampak berseri. Memang, sehari-harinya orang nomor satu di Kepolisian ini mudah senyum. Tapi, keberhasilan Detasemen Khusus 88 Anti Teror dalam menyergap Noordin M. Top membuat senyumnya kali ini tampak beda. "Ini keberhasilan semua komponen bangsa," ucapnya berulang kali saat mengumumkan kepastian kematian Noordin.
Setelah teroris musuh bersama bangsa ini lenyap, apakah tugas polisi memburu teroris lantas selesai? Kapolri memastikan, polisi tidak akan terlena meski gembong teroris yang berada di belakang setiap aksi pengeboman telah tewas. Polisi mengaku belum menemukan buronan teroris lain, seperti Syaifudin Zuhri alias Syaefudin Jaelani dan Syahrir yang masih leluasa bergerak.
Syaifudin adalah perekrut bom bunuh diri di Hotel JW Marriott dan Ritz-Carlton pada 17 Juli 2009 lalu. Sedangkan Syahrir merupakan salah satu anggota teroris yang ditempatkan di sektor penerbangan. Ia adalah lulusan STM Penerbangan yang pernah bekerja di PT Garuda Indonesia.
"Satgasus Densus 88 tidak pernah berhenti. Kami selalu melakukan upaya-upaya yang maksimal dalam memberikan rasa aman dan nyaman bagi masyarakat. Karenanya, kami terus melakukan upaya pengejaran dan pengungkapan," tegas Bambang.
Saat ini, kepolisian juga mencermati pergerakan aksi teror di kawasan regional. Contohnya, Mindanao, Filipina. Di sana, Dulmatin dan Umar Patek masih bergerak bebas dan kemungkinan besar bisa masuk ke Indonesia.
Asal tahu saja, Noordin masuk ke Indonesia ketika Malaysia melakukan razia besar-besaran terhadap aksi terorisme. "Itu menjadi perhatian," kata Kadiv Humas Mabes Polri Irjen Pol Nanan Soekarna.
Polisi menduga, akan ada 'penerus' Noordin M. Top. Namun siapa mereka, polisi belum mau membuka kartu. Dugaan polisi ini berangkat dari temuan berbagai data dan dokumentasi saat penggerebekan Noordin M. Top di Solo.
Pengamat terorisme melihat, setelah Noordin tewas, polisi perlu ikon baru sebagai target agar perburuan terorisme tidak kendor. "Dulmatin yang konon menggantikan posisi Noordin saat ini belum kedengaran aksinya," kata kriminolog Adrianus Meliala.
Untuk meminimalkan ruang gerak teroris, polisi juga perlu memperketat pengawasan para napi yang sebelumnya dihukum lantaran terkait terorisme. Selama ini terbukti, pelaku bom di JW Marriott dan Ritz-Carlton ternyata orang lama yang pernah dihukum dan terlibat aksi teror sebelumnya.
Tapi, Adrianus juga mendesak agar proses deradikalisasi para mantan teroris menjadi perhatian serius. Ia berharap, beberapa instansi berperan lebih besar seperti Departemen Agama, Departemen Pendidikan Nasional, Departemen Perindustrian, juga Departemen Hukum dan HAM (Dephukham). Mereka bisa membuat semacam kerangka proses deradikalisasi. "Instansi-instansi itu punya kemampuan mengubah wajah pemberantasan terorisme di Indonesia," tegasnya.
Menurut Adrianus, penanganan terorisme oleh lembaga lain tidak akan mengambil alih tugas utama polisi dalam penegakan hukum. Sebab, terorisme merupakan kejahatan dan tetap harus dihukum.
Pengamat kepolisian Bambang Widodo Umar meminta polisi lebih membuka diri melakukan kerjasama dengan instansi lain. "Perlu membangun suatu wadah koordinasi kerjasama penanggulangan terorisme," tegasnya. Tujuannya, agar terorisme yang masih berbentuk sel bisa dideteksi lebih dini. "Perlu perubahan pola gerak, dari tindakan represif tapi ke persuasif," ujar Bambang.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News