Reporter: Lailatul Anisah | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) mendukung upaya Sawit Watch untuk menggugat regulasi terkait pemutihan 3,3 hektar lahan sawit yang masuk dalam kawasan hutan.
Departemen Advokasi SPKS Marselinus Andry mengatakan kebijakan pemutihan sawit melalui Peraturan Pemerintah (PP) No 24/2021 tentang Tata Cara Pengenaan sanksi Administratif dan Tata Cara Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berasal dari Denda Administratif di Bidang Kehutanan dianggap merugikan petani sawit.
Menurutnya, kebijakan ini hanya berpihak kepada pelaku usaha besar alih-alih kepada petani sawit rakyat karena penyelesaian sanksi administratif ini akan sulit dilakukan oleh sawit rakyat yang ada di kawasan hutan. "Skema penyelesaian seharusnya dibedakan yang sawit rakyat dan perusahaan, tidak bisa disamakan," kata Andry pada Kontan.co.id, Selasa (26/9).
Baca Juga: 3,3 Juta Ha Kebun Sawit Masuk Kawasan Hutan Akan Dilegalkan, Ini Respon pelaku usaha
Ada beberapa hal yang membuat kebijakan ini dianggap merugikan petani. Pertama, petani tidak punya kemampuan untuk melakukan self reporting.
Seperti diketahui, pemerintah mensyaratkan kepada pemilik lahan untuk melaporkan semua data perizinan dan luas lahan yang dimiliki lewat situs Sistem Informasi Perizinan Perkebunan (SIPERIBUN).
"Petani enggak punya kemampuan untuk itu. Data itu enggak ada dan siapa yang akan memfasilitasi ini pun enggak ada hingga di tingkat kabupaten," jelas Andry.
Kedua, seluruh kelembagaan penyelesaian kebun sawit di kawasan hutan ini terpusat di nasional. Sementara di daerah belum ada tim yang memastikan pemetaan serta verifikasi inventarisasi kebun-kebun sawit rakyat dalam kawasan hutan.
Terlebih, hingga saat ini pihaknya mengaku tidak mendapatkan petunjuk teknis terkait penyelesaian lahan sawit yang masuk hutan khususnya untuk lahan sawit rakyat.
Baca Juga: Jutaan Hektare Kebun Sawit di Kawasan Hutan Bakal Legal
Karena beberapa hal tersebut, ia meyakini skema penyelesaian dalam PP No 24 /2021 itu sulit dioperasionalkan untuk sawit rakyat. Untuk itu pihaknya mendukung regulasi ini digugat untuk dicabut.
"Kita mendukung untuk mendapat kepastian hukum terutama dalam penyelesaian sawit rakyat dalam kawasan hutan melalui gugatan teman-teman," ucap Andri.
Diketahui, Sawit Watch baru saja mengajukan gugatan terkait Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2021 tentang Pemutihan/Pengampunan Perkebunan Sawit di Kawasan Hutan ke Mahkamah Agung (MA), Rabu (20/9).
Alasan Sawit Watch menggugat karena PP tersebut merupakan turunan dari Pasal 110A dan 110B Undang-Undang Cipta Kerja (UUCK), produk hukum yang telah dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi (MK).
Baca Juga: Penyelesaian sengketa di lahan perkebunan sawit harus menjadi prioritas pemerintah
Selain itu, Sawit Watch menilai kebijakan pemutihan akan menjadi celah bagi perusahaan untuk melakukan pelanggaran serupa di masa depan. Dia menyebut aturan itu bisa mempermudah perusahaan untuk menyerobot lahan warga.
"Perusahaan bisa saja melakukan penyerobotan lahan dalam kawasan hutan, karena ada semacam jaminan (akan diputihkan lagi)," kata Direktur Sawit Watch Achmad Surambo.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News