Reporter: Eka Saputra |
JAKARTA. Perampasan tanah mudah terjadi karena pemerintah pusat dan daerah tidak segan-segan mengerahkan aparat kepolisian menghadapi masyarakat yang menyuarakan tuntutan. Begitupun dengan korporasi yang memiliki pam swakarsa. Hal itu disampaikan Koordinator Umum Aksi
Serikat Bersama Pemulihan Hak-Hak Rakyat Indonesia, Agustiana. Selain itu, menurutnya, sejumlah perangkat hukum yang disahkan legislator pun memuluskan perampasan tersebut.
“Oleh karenanya kami menuntut pencabutan Undang-Undang yang mengakibatkan perampasan tanah, seperti UU Penanaman Modal, UU Kehutanan, UU Perkebunan, UU Sumber Daya Air, UU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, UU Minerba dan UU Pengadaan Tanah untuk Pembangunan,” katanya (12/1).
Pihaknya pun meminta dilakukan audit legal dan sosial ekonomi terhadap segala Hak Guna Usaha Perkebunan, Hak Guna Bangunan, Surat Keputusan Hutan Tanaman Industri, Hak Pengusahaan Hutan, serta Izin Usaha Pertambangan. Mereka merasa kecewa dengan sikap pemerintah menangai persoalan sengketa tanah.
“Baik itu kepada swasta maupun Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang telah diberikan demi kepentingan rakyat,” tukasnya.
Aksi kali ini diikuti 7000 ribu petani, buruh, masyarakat adat, perempuan, pemuda mahasiswa, perankan pemerintahan desa, dan organisasi non-pemerintah. Pagi hari mereka berunjuk rasa di depan
Istana Presiden, siangnya dengan sekitar 2000 massa yang tersisa aksi dilanjutkan di depan Gedung DPR. Dua bilah pagar di sisi gerbang Gedung DPR dirobohkan massa. Tiga orang sempat diamankan aparat
keamanan akibat insiden itu. Aksi pun mereda seiring hujan deras yang mengguyur ibu kota.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News