Sumber: Kompas.com | Editor: Dikky Setiawan
JAKARTA. Ari Kusmawan terkejut bukan main. Abu keputihan turun seperti embun mengguyur rumah dan sekitarnya, Jumat (14/2) pukul 10.30 hingga sore hari. "Dulu, ketika Merapi meletus saja tak sebanyak ini," kata warga Ciwidey, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, itu.
Wajar ia kaget bukan kepalang. Kampungnya berada sekitar 700 kilometer dari Gunung Kelud, Kediri, Jawa Timur, yang sedang erupsi, Kamis malam. Namun, siang itu, abu vulkanik menebal di atap rumah penduduk. Daun-daun berubah menjadi putih. Jalanan berkarpet pasir halus meskipun ketebalannya tak sampai 1 sentimeter.
Di Kebumen, Jawa Tengah, kepanikan melanda warga di wilayah berjarak 400 km dari Gunung Kelud. Abu vulkanik turun lebih cepat, pukul 06.00. Puluhan sepeda motor tergelincir pagi itu karena jalanan licin tertutup abu vulkanik.
"Saya kaget. Apalagi suasana gelap sekali meski sudah pukul 06.00. Motor saya terpeleset, menabrak trotoar," kata Widodo Nugroho (37), pedagang di Pasar Kebumen. Ia tergelincir di simpang lima Tugu Lawet.
Di Yogyakarta dan Solo, dengan jarak lebih dekat dengan Kelud, suasana kota lengang seperti kota mati. Hujan abu masih mengguyur hingga siang hari. Suasana gelap seperti mendung yang sangat pekat.
Lampu sepeda motor dan mobil dinyalakan. Sebagian berjalan pelan karena jalanan licin. Sepanjang Jumat kemarin, pertokoan di wilayah DI Yogyakarta, terutama di Kabupaten Sleman, Kulon Progo, dan Kota Yogyakarta, hampir semua tutup. Demikian juga pedagang kaki lima mulai dari kampung hingga jalan protokol, seperti di Jalan Malioboro dan Jalan Solo, semuanya tak berdagang.
"Ini jauh lebih parah daripada letusan Merapi dulu," kata Aris (45), warga Jalan Bantul. Ia seperti tak percaya kejadian hujan abu dengan ketebalan hampir 1 cm.
Hari itu bukan hanya sekolah dan perkantoran yang diliburkan mendadak. Layanan penerbangan di Bandara Internasional Adisutjipto, Yogyakarta, juga berhenti total karena hujan abu vulkanik. Abu vulkanik membahayakan keselamatan penerbangan.
"Sebanyak 134 jadwal penerbangan dibatalkan. Bandara baru akan dioperasikan lagi setelah hujan abu vulkanik selesai dan pembersihan runway, apron, dan terminal penumpang,” kata General Manager PT Angkasa Pura I Bandara Adisutjipto Andi G Wirson. Enam bandara menghentikan operasionalnya pada Jumat kemarin.
Kolom 17 kilometer
Kepala Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kebencanaan Geologi Subandriyo mengatakan, letusan Gunung Kelud, Kamis malam, membentuk kolom letusan setinggi 17 kilometer atau hampir dua kali lipat lebih besar daripada letusan Gunung Merapi. Akibatnya, jatuhan abu Kelud lebih jauh dengan volume abu yang lebih besar.
"Dari karakternya, material vulkanik Kelud berbeda dengan Merapi. Kelud cenderung memiliki tingkat keasaman tinggi magmanya sehingga materialnya lebih halus," ujarnya.
Itulah yang menjelaskan mengapa sebaran abu vulkanik terbawa hingga jarak 700 km dari mulut Kelud dalam hitungan jam. Sama sekali tak mengherankan.
Ketinggian arah angin yang berbeda-beda turut menentukan arah abu vulkanik akibat letusan Kelud. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mendeteksi arah angin saat itu bergerak ke segala arah, tidak hanya satu arah.
Pada ketinggian 1.500 meter hingga 3.000 meter, arah angin menuju utara dan timur laut. Lalu, pada ketinggian 5.000 meter berubah ke barat laut. Di antara ketinggian 10.000 meter dan 15.000 meter, angin bergerak ke arah barat dan barat daya, sedangkan di atas 15.000 meter arah angin ke timur.
"Abu vulkanik ke sejumlah arah. Ada juga abu vulkanik yang jatuh ke laut,” kata Kepala Pusat Perubahan Iklim dan Kualitas Udara BMKG Edvin Aldrian. Abu vulkanik yang berulang-ulang keluar, seperti karakter Gunung Sinabung, bisa mengurangi awan hujan.
Sejarah distribusi abu
Sejarah distribusi abu vulkanik akibat erupsi Kelud, seperti tercatat dalam Data Dasar Gunung Api Indonesia (Badan Geologi, Kementerian ESDM, 2011), pernah sampai ke Bandung. Kejadian itu pada 31 Agustus 1951. Saat itu, asap tebal putih keluar dari puncak Kelud disertai suara bergemuruh dan tercatat ada 7 korban jiwa.
Saat erupsi Kelud pada 19 Mei 1919, yang disebut-sebut salah satu erupsi paling dahsyat pada abad ke-20, hujan abu vulkanik terbawa ke timur hingga Pulau Bali. Dentuman erupsi waktu itu tercatat terdengar hingga Kalimantan. Saat itu, Kelud menelan korban 5.160 orang.
Sebelumnya, pada 22-23 Mei 1901, distribusi abu vulkanik dilaporkan mencapai Sukabumi dan Bogor, Jawa Barat. Di Kediri, abu panas turun pada dini hari beserta bau belerang yang sangat menyengat. Tercatat ada korban jiwa, tetapi tidak disebutkan jumlah pastinya.
Semua catatan tersebut tidak terekam dalam ingatan warga di daerah-daerah yang kini terguyur abu vulkanik.
Berdasarkan data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), wilayah barat lebih banyak diguyur hujan abu dan pasir. Di timur, hujan abu mencapai Malang, Surabaya, Banyuwangi, dan Ampenan, Nusa Tenggara Barat.
Hingga kini, BNPB mencatat 3 orang tewas dan 76.388 orang mengungsi. Ketiga korban tewas adalah Mbok Nya (60), warga Ngantang, Kabupaten Malang, karena sesak napas; Sahiri (70), warga Dusun Ngutut, Ngantang, karena tertimpa tembok saat menunggu kendaraan evakuasi; dan Sanusi (80), warga Dusun Plumbang, Ngantang, karena sesak napas saat berlindung di bawah meja.
Ketiga korban tewas tinggal di desa di radius 7 kilometer dari puncak kawah Gunung Kelud. Tebal abu di lokasi korban sampai 20 sentimeter,” kata Kepala Pusat Data, Informasi, dan Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho. (GRE/CHE/NAW/WER/DIA/TOP/ABK/DRA/ONG/EVY/KOMPAS CETAK)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News