Reporter: Siti Masitoh | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pertumbuhan ekonomi Indonesia tampaknya akan sulit mencapai 6% dalam waktu dekat. Selama masa kepemimpinan Presiden Joko Widodo, pertumbuhan Ekonomi Indonesia ‘terjebak’ di kisaran 5%.
Pada tahun ini, pemerintah menargetkan pertumbuhan ekonomi nasional sebesar 5,2%, dan 5,3% pada tahun depan.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Rizal Taufikurahman menilai, pertumbuhan ekonomi Indonesia akan sulit menembus 6% dalam waktu dekat.
Menurutnya terdapat beberapa indikator yang menyebabkan pertumbuhan ekonomi RI masih ‘terjebak’ di kisaran 5%.
Diantaranya, angka Incremental Capital Output Ratio (ICOR) nasional yang masih di atas angka pertumbuhan ekonomi, pertumbuhan industri manufaktur di bawah pertumbuhan ekonomi, dan nilai kurs rupiah terhadap dolar AS juga semakin terdepresiasi.
Baca Juga: Mendag Sebut Indonesia Perlu Saling Kerja Sama dalam Hadapi Tantangan Global
Termasuk juga angka inflasi dan penyerapan tenaga kerja yang selalu menekan besaran target capaian pertumbuhan ekonomi.
“ICOR kita masih di atas pertumbuhan ekonomi 5%, yakni kisaran 6,3%. Artinya investasi masih belum efisien dalam membentuk Produk Domestik Bruto (PDB),” ujar Rizal kepada Kontan.co.id, Selasa (1/11).
Dia memperkirakan, pertumbuhan ekonomi nasional pada tahun 2022 akan lebih rendah dari rentang target pertumbuhan ekonomi dalam APBN 2022 yang sebesar 5,2%. Hal ini disebabkan oleh adanya perubahan asumsi indikator makro lainnya, seperti laju inflasi yang lebih tinggi dari 3 plus minus 1%.
Faktor lain, masih tergerusnya nilai tukar rupiah yang akan di atas Rp 15.000 per dolar AS, dan harga minyak mentah di atas US$ 63 per barel. Termasuk juga konsumsi masyarakat yang semakin tertekan oleh kenaikan harga akibat dorongan inflasi yang kian tidak mudah dikendalikan.
Ia menjelaskan, sulitnya pengendalian stabilitas ekonomi tersebut karena saat ini adalah masa di mana ekonomi sedang proses penyembuhan setelah melewati badai pandemi Covid-19.
Baca Juga: Kualitas Produk Makin Diperhitungkan! PMA Jepang Gunakan Modul E-Proc Run System
Menurutnya, kondisi tersebut membutuhkan iklim dan stabilitas ekonomi yang kuat agar kembali jatuh seperti saat pandemi. Meskipun kondisi ekonomi sedang meningkat perbaikannya dengan pertumbuhan ekonomi per kuartal tahun ini kian membaik di kisaran 5,1%-5,44%.
“Sehingga perekonomian sedang menuju normal kembali ke titik keseimbangan baru mendekati sebelum pandemi. Bahkan melebihi angka pra pandemi Covid-19,” jelasnya.
Sebagai gambaran, dalam masa kepemimpinan Presiden Joko Widodo pada lima tahun terakhir, pertumbuhan ekonomi Indonesia memang belum pernah mencapai 6%. Pada 2017 pertumbuhan ekonomi sebesar 5,07%, 2018 sebesar 5,17%, 2019 sebesar 5,02%, pada 2020 mengalami kontraksi akibat pandemi Covid-19 sebesar 12,07%, dan pada 2021 kembali tumbuh 3,70%.
Artinya, proses penyembuhan ekonomi nantinya hanya mampu mengembalikan pertumbuhan ekonomi pada level sebelum pandemi yang rata-rata ada di kisaran 5%. Sehingga jika ingin keluar dari ‘jebakan’ pertumbuhan ekonomi di 5%, pemerintah perlu melakukan lebih ekstra lagi.
Rizal menambahkan, faktor lainnya yang menjadikan pertumbuhan ekonomi nasional hanya tumbuh di kisaran 5% adalah pada struktur ekonominya. Ia menjelaskan bahwa sektor industri pengolahan non-migas seharusnya menjadi salah satu sektor kunci utama untuk mendongkrak kinerja pertumbuhan ekonomi.
Sektor tersebut, kata Dia, harusnya bisa menjadi pembentuk nilai tambah terbesar dalam membentuk PDB nasional. Sektor pengolahan yang bisa diandalkan tersebut berbasis pada ketersediaan sumber daya alam.
Akan tetapi, sektor tersebut justru masih belum dioptimalkan oleh pemerintah, dan bahkan pertumbuhan sektor industri kian merosot sampai pada level di bawah 20% terhadap PDB.
Menurutnya pemerintah malah lebih memilih mengembangkan sektor jasa, yang nilai tambahnya justru masih lebih rendah dari industri manufaktur. Oleh karena itu, Rizal menyarankan untuk mencapai pertumbuhan ekonomi di atas 6%, pemerintah perlu melakukan beberapa indikator.
Baca Juga: Dorong Pemberdayaan UKM Aice Group Terima Indonesia Award 2022
Diantaranya, melakukan strategi efisiensi dan realisasi investasi yang semakin baik, kemitraan Penanaman Modal Asing dan Penanaman Modal Dalam Negeri (PMA/PMDN) dengan pelaku usaha mikro yang juga perlu didorong.
Kemudian, memberikan fasilitas insentif bagi PMA/PMDN yang mampu menggerakkan ekonomi lokal dan nasional, serta industri manufaktur yang berbasis sumberdaya alam yang tersedia, baik pertanian maupun pertambangan/galian.
“Itu seharusnya menjadi bagian strategi negara dalam mendongkrak kinerja ekonomi ke depan,” imbuhnya.
Dihubungi secara terpisah, Deputi Bidang Koordinasi Ekonomi Makro dan Keuangan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Iskandar Simorangkir juga mengatakan, untuk mencapai pertumbuhan ekonomi di atas 6%, pemerintah perlu melakukan beberapa kebijakan.
Baca Juga: Saham Big Cap Dominasi Laggard IHSG, Simak Rekomendasi Sahamnya
Beberapa diantaranya dengan mengoptimalkan konsumsi dalam negeri, dengan menggunakan barang-barang dalam negeri. Selain itu pemerintah juga akan mendorong investasi, serta menjaga konsumsi masyarakat utamanya bagi yang miskin dan rentan.
“Pemerintah akan tetap memberikan bansos kepada 40% pendapatan terbawah,” kata Iskandar.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News