kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45925,48   -1,25   -0.14%
  • EMAS1.327.000 1,30%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Rupiah melemah, risiko utang meningkat


Kamis, 22 Agustus 2013 / 21:43 WIB
Rupiah melemah, risiko utang meningkat
ILUSTRASI. Rekomendasi saham Adhi Karya masih dibayangi rendahnya perolehan kontrak baru ANTARA FOTO/Galih Pradipta/YU


Reporter: Anna Suci Perwitasari | Editor: Amal Ihsan

JAKARTA. Pelemahan nilai tukar rupiah yang terus menerus terjadi mulai mengkhawatirkan karena memberikan pengaruh negatif ke beberapa sektor. Salah satunya adalah pembayaran utang jatuh tempo.

Menurut data Bank Indonesia, pada periode semester II 2013, utang jatuh tempo mencapai US$ 27,78 miliar, dengan komposisi rencana pembayaran utang swasta sebesar US$ 22,27 miliar ditambah utang pemerintah senilai US$ 5,51 miliar.

Menurut Kepala Pusat Ekonomi dan Kebijakan Publik Universitas Gadjah Mada A. Tony Prasetiantono melihat pemerintah harus mewaspadai utang jatuh tempo ini.

Untuk itu Tony menghimbau pihak swasta dan pemerintah untuk melakukan restrukturisasi utang. "Tinggal melakukan negosiasi dengan kreditor untuk masalah pembayarannya," jelasnya di Jakarta, Kamis (22/8).

Hal ini dilakukan karena likuiditas valuta asing khususnya dollar Amerika Serikat di pasar sangat sedikit. Jika kebutuhan tersebut tidak dapat dipenuhi di pasar, mau tak mau Bank Indonesia harus menyediakannya. Ini dapat kembali menghantam cadangan devisa yang saat ini sudah tinggal US$ 92,6 miliar. 

Pemerintah sendiri selalu percaya diri, bahwa tidak ada masalah mengenai utang. Karena rasio utang terhadap produk domestik bruto (PDB) masih ada di kisaran 23%. Tetapi pemerintah lupa, bahwa debt to service ratio utang Indonesia sudah mencapai 41%. Artinya 41% dari ekspor Indonesia digunakan untuk pembayaran utang. 

Kepala Ekonom Bank Mandiri Destry Damayanti berpendapat, restrukturisasi utang memang mungkin dilakukan. Mengingat banyak utang yang dilakukan oleh anak usaha ke induknya ataupun perusahaan joint venture yang memiliki induk perusahaan di luar negeri. "Kalau seperti itu masih bisa melakukan rollover," tambahnya.

Namun, untuk perusahaan yang berutang kepada sektor keuangan, tampaknya hal ini sulit dilakukan secara optimal jika melihat kondisi ekonomi global.

Walaupun belum memasuki masa krisis ekonomi, Destry menyebut, seharusnya pemerintah mengeluarkan suatu statement untuk menenangkan pasar.

Salah satunya dengan adanya dana second line of defends. Ini merupakan tambahan pemasukan untuk kondisi yang sangat ekstrem alias krisis ekonomi. Second line of defends ini adalah pinjaman yang berasal dari negara lain seperti China, Jepang dan Korea.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
EVolution Seminar Practical Business Acumen

[X]
×