Reporter: Asep Munazat Zatnika | Editor: Dikky Setiawan
JAKARTA. Bank Indonesia memperkirakan, defisit neraca transaksi berjalan masih akan tetap tinggi. Menurut BI, pada kuartal tiga tahun 2013 neraca transaksi berjalan hanya akan turun menjadi US$ 8,4 miliar. Sebelumnya pada kuartal kedua, neraca transaksi berjalan mencapai US$ 10 miliar.
Akibatnya, pasar merespons, upaya pemerintah menekan defisit neraca transaksi berjalan masih kurang maksimal.
Hal itu tercermin dari merosotnya nilai tukar rupiah beberapa hari terakhir. Bahkan, berdasarkan Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR) pada hari Selasa (12/11) ini, nilai tukar rupiah terhadap Dollar AS berada di level Rp 11.578 per US$.
Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI Difi Johansyah menjelaskan, nilai tukar rupiah secara point to point memang menguat sebesar 2,73% (mtm) menjadi Rp11.273 per dolar AS. Namun secara rata-rata melemah 0,14% (mtm) menjadi Rp11.343 per dolar AS. Perkembangan ini dipengaruhi kondisi pasar keuangan global pada Oktober 2013 yang cukup baik serta penurunan ekspektasi inflasi domestik,
Menurut Wakil Menteri Keuangan (Wamenkeu) Bambang Brodjonegoro, pemerintah memang tidak mendikte pasar. Meskipun begitu, ia mengklaim, pemerintah telah berusaha semakisimal mungkin mengeluarkan kebijakan yang bisa menekan defisit neraca transaksi berjalan. “Kita pelan-pelan tangani ini, sambil beri keyakinan kepada investor bahwa stabilitas ekonomi makro membaik,” ujar Bambang.
Ekonom Standard Chartered (Stanchard) Fauzi Ichsan menimpali, stabilitas nilai tukar rupiah memang tidak menguntungkan buat pemerintah. Selain bisa mendongkrak impor, hal itu juga menunjukan ketidakmampuan pemerintah menjaga kepercayaan investor. Bila rupiah terus melemah maka tabilitas ekonomi akan terganggu.
Pasalnya, Indonesia bukanlah negara eksportir. Kalau negara eksportir tentu akan diuntungkan dengan pelemahan nilai tukarnya. Malah, Indonesia merupakan negara yang pertumbuhan ekonominya tergantung pada impor, di mana hampir sebagian besar barang yang dikonsumsi masyarakatnya berasal dari impor.
Fauzi memperkirakan, nilai tukar rupiah akan berada dilevel Rp 11.000 per US$ hingga akhir tahun 2013. “Saya rasa dengan kebijakan moneter dan fiskal yang ketat bisa menekan nilai tukar dilevel tersebut,” ujar fauzi
Adapun ekonom Bank Internasional Indonesia (BII) Juniman melihat bila nilai tukar rupiah melemah maka investor sulit masuk ke Indonesia. Sehingga, nilai investasi juga akan melambat, padahal pemerintah berharap investasi yang masuk tinggi, terutama untuk Foreign Direct Investment (FDI).
Dampak yang lebih jelas terlihat terjadi di pasar saham yang tergerus karena pelamahan nilai tukar. Bila dibiarkan, akan membuat banyak aliran dana yang selama ini ada di Indonesia keluar, atau berpindah ke instrumen investasi lain. “Jadi pelemahan nilai tukar rupiah akan memberi efek domino,” kata Juniman.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News