kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45936,33   7,98   0.86%
  • EMAS1.335.000 1,06%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Risiko inflasi, era bunga rendah usai di 2018


Selasa, 26 Desember 2017 / 19:31 WIB
Risiko inflasi, era bunga rendah usai di 2018


Reporter: Ghina Ghaliya Quddus | Editor: Wahyu T.Rahmawati

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Ruang penurunan suku bunga semakin terbatas pada tahun depan lantaran meningkatnya risiko dari dalam negeri dan global yang bisa mendorong inflasi serta menekan nilai tukar rupiah.

Risiko dalam negeri yang dimaksud adalah inflasi pada tahun depan yang berpotensi tidak sesuai dengan target pemerintah. Hal ini disebabkan oleh harga minyak dunia yang tinggi.

Dengan demikian, Bank Mandiri memprediksi, BI tidak akan menurunkan suku bunga karena tingginya potensi risiko pada mata uang. Oleh karena itu, suku bunga 7DRR BI akan bertahan di 4,25% sampai akhir 2018. Sementara, rupiah diperkirakan akan bertahan di kisaran Rp 13.400-Rp 13.600 per dollar Amerika Serikat (AS) sampai tahun depan.

“Pemerintah punya target inflasi yang relatif rendah tahun depan dengan asumsi harga minyak yang US$ 48 per barel, tetapi sekarang sudah di US$ 60 hingga US$ 64 per barel. Tren ke depan prediksi kami US$ 60,” kata Head of Industry and Regional Research Departement PT Bank Mandiri (Persero) Tbk Dendi Ramdani, akhir pekan lalu.

Oleh karena itu, menurut Dendi, ada dua skenario yang mungkin terjadi di tahun. Pertama, harga BBM tidak naik tetapi selisih harga diserap oleh Pertamina sehingga menjadi beban ke keuangan Pertamina.

Skenario kedua, yakni selain efisiensi, Pertamina tidak menambah suplai BBM penugasan RON 88. “Di RON 88 suplainya tidak ditambah. Sekarang sudah kelihatan di beberapa SPBU bahwa ada pengumuman Premium habis. Jadi orang dipaksa pakai RON 95. Secara langsung RON 88 tidak naik tapi RON 95nya naik, ini akan berdampak sedikit banyak ke inflasi,” jelasnya.

Meski begitu, Senior ASEAN Economist UBS Investment Bank Edward Teather mengatakan, dari sisi inflasi, Indonesia masih akan berada di kondisi yang kondusif tahun depan, yakni tanpa lonjakan inflasi. Namun, ia memproyeksi BI akan menaikkan suku bunga acuannya tahun depan seiring normalisasi kebijakan moneter di beberapa negara maju dan risiko geopolitik.

Bank sentral Amerika Serikat (AS) alias The Federal Reserve (The Fed) misalnya, kembali menaikkan bunga dananya alias Fed Fund Rate sebesar 0,25% menjadi 1,25-1,5%. Menyusul kenaikan tersebut, bank sentral Tiongkok mengerek bunga acuannya sebesar 5 basis poin. 

“Kami melihat bahwa BI akan menaikkan suku bunga sebesar 50 bps pada semester II tahun depan untuk mencerminkan perbaikan ekonomi dan menjauhkan rupiah dari meningkatnya suku bunga The Fed,” katanya.

Edward melanjutkan, sebagai skenario dasar, pada 2018 rupiah akan berakhir pada Rp 13.500 per dollar AS. Adapun dalam hal terjadi penurunan sebesar 50 bps atau lompatan yang lebih lagi dari imbal hasil US treasury bertenor 10 tahun, menurut Edward, tidak aneh apabila rupiah akan berada di atas level Rp 14.000 per dollar AS tahun depan. “Kami tidak akan terkejut saat melihat rupiah di atas Rp 14.000 dan kenaikan tambahan 25 bps untuk suku bunga acuan BI,” ujarnya.

Harga minyak US$ 60-US$ 65 per barel

Tim ekonom DBS dalam laporan DBS Group Research Regional Industry Focus yang bertajuk Regional Industry Focus: Oil and Gas yang dikutip Kontan.co.id, Selasa (26/12) menyatakan, tahun depan harga minyak dunia diperkirakan terkerek ke posisi US$ 60-US$ 65 per barel.

Bagi Indonesia, kenaikan BBM memiliki efek domino sehingga mendorong kenaikan harga bahan pokok dan jasa lainnya, dan menyebabkan tingginya inflasi. Dengan menggunakan consumer price index (CPI)—indikator penghitungan tingkat inflasi di suatu negara, menurut DBS, sektor transportasi dan listrik menjadi kontributor terbesar dalam menentukan di Indonesia, mencapai 25% dari seluruh kategori CPI yang ada.

Oleh sebab itu, DBS memprediksi tiap 10% kenaikan harga minyak mentah dunia, akan berdampak terhadap peningkatan inflasi sebesar 0,6, “Kondisi ini jelas menjadi tantangan bagi pemerintah di tengah upaya untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan daya saing untuk mendorong masuknya investasi. Sebab, inflasi merupakan elemen penting yang mempengaruhi rating investasi sebuah negara,” kata tim ekonom DBS Suvro Sarkar, Pei Hwa Ho, Glenn Ng, William Simadiputra dan Janice Chua dalam laporannya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×