kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45999,83   6,23   0.63%
  • EMAS1.199.000 0,50%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Revolusi industri 4.0 dan cara capres menyikapinya


Selasa, 19 Februari 2019 / 12:25 WIB
Revolusi industri 4.0 dan cara capres menyikapinya


Reporter: Grace Olivia | Editor: Wahyu T.Rahmawati

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Revolusi industri 4.0 bisa jadi salah satu topik yang sering bergema di berbagai forum publik belakangan. Tak hanya Indonesia, hampir seluruh negara di dunia tengah bergelut dalam revolusi industri yang menjadi penentu proses produksi di masa depan.

Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto ialah yang paling gencar mengusung revolusi industri 4.0 melalui inisiatif "Making Indonesia 4.0". Industri 4.0 diyakini dapat mengantar Indonesia masuk dalam sepuluh besar ekonomi terbesar di dunia pada 2030 mendatang.

Making Indonesia 4.0 menargetkan bakal mengembalikan sumbangsih rasio ekspor netto terhadap produk domestik bruto (PDB) nasional sebesar 5%-10% pada tahun 2030.

Adapun lima teknologi utama yang menopang pembangunan sistem industri 4.0, yaitu Internet of Things (IoT), Artificial Intelligence (AI), Human–Machine Interface, teknologi robotik dan sensor, serta teknologi 3D-Printing. “Penerapan industri 4.0 merupakan upaya untuk melakukan otomatisasi dan digitalisasi pada proses produksi,” ungkap Airlangga di berbagai kesempatan.

Topik revolusi industri 4.0 pun menjadi pembahasan dalam debat calon presiden putaran kedua, Minggu (17/2) lalu. Isu mencuat saat pertanyaan panelis yang muncul ialah terkait strategi capres dalam menghadapi revolusi industri 4.0 di tengah pelaku ekonomi berskala kecil dan tradisional seperti sektor pertanian, perikanan, dan peternakan.

Presiden Joko Widodo meyakini, sumber daya manusia merupakan kunci Indonesia menghadapi revolusi industri keempat. "Dengan kecepatan yang sangat tinggi, artificial intelligent, internet of thing, big data, advanced robotics semuanya keluar, saya meyakini bahwa dengan persiapan pembangunan sumber daya manusia kita akan bisa mempersiapkan bangsa kita menuju revolusi industri 4.0," jawab Jokowi.

Jokowi mencontohkan, perlunya memperkenalkan dan menghubungkan para petani dengan industri marketplace agar petani dapat memanfaatkannya untuk berjualan secara online. Begitu juga dengan usaha kecil , mikro, dan supermikro lainnya dipersiapkan untuk mengakses sistem online yang dapat membawa produk mereka lebih dekat kepada konsumen.

Di samping SDM, Jokowi juga menekankan pentingnya infrastruktur yang memadai dalam menyongsong revolusi industri 4.0. Proyek pembangunan satelit Palapa Ring dan perluasan sistem 4G menjadi dua capaian penting yang ia tonjolkan.

"Saya sampaikan mengenai Palapa Ring yang sudah dibangun di Indonesia bagian barat, bagian timur, bagian tengah, semuanya hampir sudah 100%. Juga sistem 4G yang sekarang ini telah kita bangun hampir 74% di kabupaten/kota yang kita miliki telah kita selesaikan," ucapnya.

Sementara, calon presiden Prabowo Subianto juga memahami perkembangan industri menuju 4.0 yang akan mengubah cara pabrik bekerja. Yang menjadi sorotan Prabowo, ialah bagaimana revolusi industri 4.0 berpotensi menggantikan peran tenaga kerja manusia, layaknya yang terjadi di pabrik-pabrik negara maju.

"Suatu pabrik mobil di Jerman yang punya 15.000 pekerja bisa diganti sekarang dengan robot-robot dan hanya membutuhkan kurang dari lima puluh orang bekerja. Ini akan berdampak," katanya.

Mesti hati-hati

Menanggapi pandangan para capres, Wakil Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Bidang Perindustrian Johnny Darmawan setuju revolusi industri 4.0 merupakan isu penting yang mesti diusung dalam visi-misi pemerintah selanjutnya.

Menurut Johnny, Indonesia harus menanggapi revolusi industri 4.0 di tengah globalisasi perdagangan. "Kita kan masuk dalam perdagangan global, masuk dalam negara G20, jadi Indonesia harus siap dengan industri 4.0," ujarnya, Senin (18/2).

Kendati begitu, Jhonny berpendapat, ada dua hal penting yang mesti menjadi perhatian utama pemerintah dalam memersiapkan industri 4.0 di Indonesia. Pertama, memilah betul sektor industri apa saja yang perlu dan butuh mengadopsi teknologi dalam industri 4.0.

Pasalnya, Jhonny menilai, tak semua sektor industri perlu mengganti seluruh sistem produksi dengan teknologi seperti pada industri 4.0. Sejauh ini, lima sektor yang menjadi priorotas dalam Making Indonesia 4.0 ialah makanan dan minuman, tekstil dan busana, otomotif, elektronik, dan industri kimia. "Masih ada sektor-sektor yang cukup saja memberlakukan industri 1.0, industri 2.0, dan seterusnya," kata dia.

Kedua, pemerintah juga mesti berhati-hati dalam memberi sosialisasi dan penjabaran mengenai Industri 4.0 terhadap pelaku industri. Sebab, masih banyak yang beranggapan Industri 4.0 sebatas mengganti tenaga kerja manusia menjadi mesin sehingga menimbulkan kekhawatiran terjadinya pemecatan besar-besaran di kemudian hari.

"Padahal kita tahu, revolusi industri 4.0 bukan soal itu saja. Oleh karena itu mesti hati-hati penjabarannya, mesti diingat industri kita masih banyak yang padat karya," imbau Jhonny.

Terhadap hal tersebut, Airlangga sepakat bahwa dalam penerapan revolusi industri keempat ini, Indonesia tidak akan meninggalkan atau menggantikan sektor industri yang saat ini masih menggunakan teknologi di era industri generasi pertama hingga ketiga.

“Meski saat ini pemerintah mendorong revolusi industri keempat, tetapi saya tegaskan bahwa sektor yang masih di industri pertama juga masih berjalan, termasuk pula yang di generasi kedua dan ketiga. Semuanya saling melengkapi dan berjalan seiringan,” ungkap Johnny dalam keterangan pers yang diterima Kontan.co.id, Minggu (10/2) lalu.

Industri generasi pertama yang masih ada di Indonesia, di antaranya berada di sektor agrikultur atau pertanian. Kemudian, industri generasi kedua seperti sektor pembuatan rokok kretek tangan dan industri batik yang menggunakan canting, yang hingga saat ini masih beroperasi. Sementara itu, industri generasi ketiga ialah yang telah menggunakan mesin otomatis dengan melibatkan hubungan antara manusia dan mesin.

Terkait dengan kekhawatiran tergantikannya tenaga manusia dengan tenaga mesin, Menperin menilai era digitalisasi justru membutuhkan banyak pekerjaan di bidang analisa data atau AI yang berhubungan dengan statistik. Oleh karena itu, memasuki revolusi industri 4.0, pemerintah mendorong SDM yang mumpuni melalui reskilling dengan vokasi maupun pelatihan kembali (retraining).

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Storytelling with Data (Data to Visual Story) Mastering Corporate Financial Planning & Analysis

[X]
×