kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45900,95   2,20   0.24%
  • EMAS1.318.000 -0,68%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Revisi UU Telekomunikasi Jerat konten asing


Senin, 03 September 2012 / 07:40 WIB
Revisi UU Telekomunikasi Jerat konten asing
ILUSTRASI. Ilustrasi perkebunan kelapa sawit


Reporter: Arif Wicaksono | Editor: Dadan M. Ramdan

JAKARTA. Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) akan segera memasukkan aturan terkait layanan over the top (OTT) dalam revisi Undang Undang Nomor 36 Tahun 1999 Telekomunikasi. OTT merupakan metode delivery layanan video atau audio secara streaming menggunakan media internet.

Selama ini, penyedia konten OTT seperti, Facebook, Google, layanan BlackBerry dari Research in Motion (RIM), Skype dan Twitter menikmati keuntungan dari pemanfaatan jaringan operator. Tapi, hal ini berpotensi merugikan operator lantaran penyedia konten raksasa tersebut hanya menumpang jaringan yang dibangun operator.

Layanan OTT juga berdampak pada pelambatan akses internet karena operator harus menjangkau server di luar negeri. Tak hanya itu, layanan ini juga berpotensi merugikan negara karena ada penerimaan negara bukan pajak (PNBP) yang hilang.
Apalagi, belakangan muncul kasus dugaan korupsi yang melibatkan RIM dan sejumlah operator selular dalam kerjasama layanan OTT. Kasus ini tengah ditangani Kejaksaan Agung (lihat boks).

Maka itu, pemerintah dan Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) akan merevisi Undang-Undang Nomor 36/1999 tentang Telekomunikasi. Dalam revisi tersebut akan dimasukkan ketentuan khusus mengenai layanan OTT tersebut.

Nonot Harsono, anggota Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) mengatakan, ketentuan OTT belum terakomodasi dalam UU Telekomunikasi, lantaran pesatnya perkembangan teknologi informasi. "September ini, BRTI berencana bertemu dengan Menkominfo Tifatul Sembiring terkait layanan OTT yang akan dimasukkan dalam revisi UU Telekomunikasi," katanya kepada KONTAN, Minggu (2/9).

Namun, revisi UU 36/1999 tentunya membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Makanya untuk jangka pendek, Nono menyarankan pemerintah bisa mengeluarkan peraturan pemerintah (PP) soal layanan OTT. "Langkah merevisi UU Telekomunikasi untuk menyempurnakan aturan yang sudah ada sebelumnya," ujarnya.

Apalagi, layanan data lintas negara selama ini belum ada aturannya. Maka itu, dalam revisi kelak, akan dimasukkan ketentuan tarif bagi vendor asing yang memakai jaringan operator lokal. "Aturan ini mirip seperti kebijakan bea masuk di bea cukai, sehingga akan ada tarif yang dibebankan kepada vendor asing," ujarnya.

Selain itu, akan ada sharing pendapatan akses konten antara operator dengan vendor OTT. Berapa porsi pembagiannya, Nonot mengaku sampai saat ini masih dikaji.

Perlu aturan baru
Gatot S. Dewabroto, Kepala Pusat Informasi dan Humas Kemkominfo menambahkan, saat ini pemerintah belum bisa menarik PNBP ke vendor asing, seperti RIM. Sebab, RIM memiliki keberagaman fungsi seperti sebagai penyedia layanan aplikasi, penyelenggara telekomunikasi, sekaligus penyelenggara layanan data. "Kami sudah konsultasi dengan Komisi I DPR. Hasilnya pemerintah tidak bisa menindak RIM, sehingga perlu aturan baru," ujarnya.

Hasnul Suhaimi, Direktur Utama PT XL Axiata Tbk menuturkan, selama ini, dalam praktik dari layanan OTT dari vendor, operator selalu menjadi perantara bagi pelanggan agar bisa mengakses layanan seperti Google atau Youtube. Nah, operator memang harus mengakses jaringan yang jauh ke luar negeri, namun biayanya tak terlalu besar. "Jika ada tambahan pemasukan seharusnya vendor bisa membagi keuntungannya kepada operator," ujarnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
EVolution Seminar Practical Business Acumen

[X]
×